Pendahuluan
Program
Keluarga Berencana (KB) dalam Perspektif Hukum Islam.
Islam
menyukai banyaknya keturunan di kalangan umatnya. namun, Islam
pun mengizinkan kepada setiap muslim untuk mengatur keturunan
apabila didorong oleh alasan kuat. Hal yang masyhur digunakan pada
zaman rasulullah untuk mengatur kelahiran adalah dengan azl.
Sekarang
lazim dikenal dengan pengaturan kelahiran atau Keluarga Berencana
(KB).
Ada
berbagai pertimbangan yang harus diperhatikan dalam berkeluarga
termasuk mengenai perencanaan tentang pengaturan jumlah anak (KB),
agar dapat menghasilkan keturunan yang berkualitas, diantaranya
terpenuhi pendidikan, ekonomi dan mempertimbangkan kesehatan si ibu,
memelihara jiwa dan melindunginya dari berbagai ancaman berarti
memelihara eksistensi kehidupan umat manusia.
Namun
adakalanya, tidak semua orang merasa senang dan bahagia dengan
setiap kelahiran yang tidak direncanakan, karena faktor kemiskinan,
hubungan di luar nikah dan
alasan-alasan lainnya. Hal ini mengakibatkan,
ada juga sebagian wanita yang menggugurkan kandungannya setelah
janin bersemi dalam rahimnya, hal tersebutlah yang dilarang oleh
agama, kalau tidak ada udzurnya. Selanjutnya penulis akan membahas
tentang program KB (Keluarga Berencana) dalam Perspektif Hukum
Islam.
Pengertian
Keluarga
Berencana
Istilah
Keluarga Berencana (KB), merupakan terjemahan dari Bahasa Inggris
“Family Planning”[1];
yang dalam pelaksanaanya di Negara-negara Barat mencakup dua macam
metode (cara) yaitu :
a.
Planning
Parenthood
Pelaksanaan
metode ini menitik beratkan tanggung jawab kedua orang tua untuk
membentuk kehidupan rumah tangga yang aman, tenteram, damai,
sejahtera dan bahagia; walaupun bukan dengan jalan membatasi jumlah
anggota keluarga. Hal ini, lebih mendekati istilah Bahasa Arab
تَنْظِيْمُ
الَّنْسِل
(pengaturan
keturunan /kelahiran).
b.
Birth
Control
Penerapan
metode ini menekankan jumlah anak, atau menjarangkan kelahiran,
sesuai dengan situasi dan kondisi suami-istri. Tetapi dalam
prakteknya di Negara barat, cara ini juga membolehkan pengguguran
kandungan (abortus dan menstrual regulation), pemandulan
(sterilisasi) dan pembujangan.[2]
Untuk menjelaskan
pengertian Keluarga Berencana di Indonesia, maka penulis
mengemukakan dengan pengertian umum dan khusus; yaitu:
a.
Pengertian
Umum
Keluarga Berencana
ialah suatu usaha yang mengatur banyaknya jumlah kelahiran
sedemikian rupa, sehingga bagi ibu maupun bayinya, dan bagi ayah
serta keluarganya atau masyarakatnya yang bersangkutan, tidak akan
menimbulkan kerugian sebagai akibat langsung dari kelahiran
tersebut.
b.
Pengertian
Khusus
Keluarga Berencana
dalam kehidupan sehari-hari berkisar pada pencegahan konsepsi atau
pencegahan terjadinya pembuahan, atau pencegahan pertemuan antara
sel mani dari laki-laki dan sel telur dari perempuan sekitar
persetubuhan.
Dari pengertian
tersebut diatas, dapat dikatakan bahwa Keluarga Berencana adalah
istilah yang resmi digunakan di Indonesia terhadap usaha-usaha untuk
mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan keluarga, dengan menerima dan
mempraktekkan gagasan keluarga kecil yang potensial dan bahagia.
Keluarga
Berencana (KB) dan Kependudukan
Pengertian Keluarga
di sini adalah suatu kesatuan sosial terkecil di dalam masyarakat
yang diikat oleh jalinan perkawinan yang sah. Yang lazim disebut
keluarga inti atau nuclear family, yang terdiri dari suami
isteri dan anak-anak. Keluarga Berencana ini dilakukan dengan
latarbelakang berbagai motivasi, adakalanya motivasi individual atau
juga motivasi nasional yaitu suatu program yang dicanangkan oleh
pemerintah suatu negara.
Beberapa
negara di dunia saat ini menghadapi masalah kependudukan yang
serius, karena laju pertumbuhan penduduk yang tinggi tidak seimbang
dengan laju pertumbuhan ekonomi dan sektor-sektor kehidupan lainnya,
sehingga usaha pemerintah memakmurkan dan mensejahterakan rakyatnya
menghadapi kendala yang serius. Karena itulah, berbagai negara yang
menghadapi masalah kependudukan, berusaha secara maksimal menekan
laju pertumbuhan penduduknya.[3]
Status
Hukum
Keluarga
Berencana (KB) dan Kependudukan
Dalam
pembahasan ini, penulis hanya meninjau status hukumnya menurut
Islam, dengan mendasarkan kepada nash Al-Quran dan Hadis serta
logika (dalil aqli). Perdebatan
pendapat yang terjadi dikalangan pakar hukum Islam tentang Keluarga
Berencana, karena mereka mengasumsikan Keluarga Berencana itu dengan
pengertian (pembatasan anak/keturunan), atau juga dengan pengertian
(penyedikitan anak/keturunan) saja, tidak memberikan pemahaman yang
lain.
Dari sini kemudian
Syaltut memberikan pemahaman Keluarga Berencana dengan pengertian
yang lain yaitu (pengaturan keturunan/penjarangan keturunan). Ini
memberikan kontribusi sangat signifikan di Mesir, yang saat itu
masyarakatnya masih kuat berfaham ortodoksi.
Kalau
program KB itu dimaksudkan sebagai pembatasan keluarga/anak dalam
jumlah tertentu, misalnya dua atau tiga untuk setiap keluarga dalam
segala situasi dan kondisi tanpa kecuali, maka hal tersebut
bertentangan dengan syari’at Islam, bertentangan pula dengan hukum
alam dan hikmah Allah dalam penciptaan manusia ditengah-tengah alam
semesta agar berkembang biak dan dapat memanfaatkan karunia-Nya
untuk kesejahteraan hidupnya.[4]
Tetapi
jika program KB itu dimaksudkan sebagai usaha pengaturan
keluarga/penjarangan kelahiran, atau usaha pencegahan kehamilan
sementara atau selamanya, sehubungan dengan situasi dan kondisi
khusus, untuk kepentingan keluarga bersangkutan atau untuk
kepentingan masyarakat dan negara, maka tidak dilarang oleh
agama.[5]
Muhammad Syaltut
dalam fatwanya sebagai berikut:
“Adapun
Pembatasan Keluarga (KB) dengan pengertian penjarangan keluarga
(kelahiran), berkaitan dengan wanita yang amat subur (cepat
mengandung), dan bagi wanita yang mengidap penyakit menular, dan
juga bagi individu-individu yang kekurangan yaitu mereka yang lemah
daya kekuatan mereka dalam menghadapi tanggungjawab yang besar,
sedang mereka tidak mendapatkan pertolongan baik dari pemerintah
atau orang-orang yang bisa meringankan beban mereka, maka Keluarga
Berencana dengan pengertian pengaturan kelahiran ini tidak
bertentangan dengan hukum alam dan tidak juga dilarang oleh
syari’ah.[6]
Dengan
demikian Menurut Syaltut, diperbolehkannya melakukan Keluarga
Berencana itu ada berbagai faktor yang harus di pertimbangkan yaitu:
Pertama,
terpeliharanya kesehatan dan keselamatan ibu si anak baik jasmani
ataupun ruhani, selama mengandung, melahirkan dan memelihara anak.
Kedua, terpeliharanya kesehatan, keselamatan, ruhani dan jasmani si
anak sendiri, misalnya dari cacat fisik bila suami isteri atau salah
satunya mengidap penyakit yang membahayakan anak keturunannya.
Ketiga, terjaminnya masa depan pendidikan si anak supaya menjadi
generasi yang kuat. Untuk menjadikan keluarga dan anak keturunan
bermutu perlu tersedia dana, sarana, kemampuan dan waktu yang cukup
untuk membinanya. Allah mengingatkan dalam Firmannya :
|·÷‚u‹ø9ur
šúïÏ%©!$#
öqs9
(#qä.t�s?
ô`ÏB
óOÎgÏÿù=yz
ZpƒÍh‘èŒ
$¸ÿ»yèÅÊ
(#qèù%s{
öNÎgøŠn=tæ
(#qà)Gu‹ù=sù
©!$#
(#qä9qà)u‹ø9ur
Zwöqs%
#´‰ƒÏ‰y™
ÇÒÈ
Artinya
:
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya
meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka
khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah
mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan
Perkataan yang benar.” (Q.S
An-Nisa ayat: 9).
Ayat
ini menerangkan bahwa kelemahan ekonomi, kurang stabilnya kondisi
kesehatan pisik dan kelemahan intelegensia anak, akibat kekurangan
makanan yang bergizi, menjadi tanggung jawab kedua orang tuanya.
Maka disinilah peranan KB untuk membantu orang-orang yang tidak
dapat menyanggupi hal tersebut, agar tidak berdosa di kemudian hari
bila meninggalkan hal tersebut, agar tidak berdosa dikemudian hari
bila meninggalkan keturunannya.[7]
Dalam
perspektif pemikiran Syaltut, Keluarga Berencana semata-mata tidak
diartikan sebagai upaya menekan pertumbuhan penduduk, melainkan
pengaturan jarak kelahiran sebagai upaya meningkatkan kualitas
hidup, melindungi kesehatan ibu dan anak, baik secara fisik atau
psichis. Hak-hak reproduksi adalah hak setiap individu dan pasangan
untuk menentukan kapan akan melahirkan, serta upaya apa untuk
mewujudkan hak itu, asal tidak bertentangan dengan ajaran Islam dan
prinsip moral yang utama dan sesuai dengan harkat martabat
manusia.[8]
Dalam ayat lain
disebutkan juga
*
ßNºt$Î!ºuqø9$#ur
z`÷èÅÊö�ãƒ
£`èdy‰»s9÷rr&
Èû÷,s!öqym
Èû÷ün=ÏB%x.
(
ô`yJÏ9
yŠ#u‘r&
br&
¨LÉêãƒ
sptã$|ʧ�9$#
4
’n?tãur
ÏŠqä9öqpRùQ$
ÇËÌÌÈ
Artinya : “Para
ibu, hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu
bagi yang ingin menyempurnakan penyusuannya . . .” (Q.S.
Al-Baqarah : 62).
Ayat
ini menerangkan bahwa anak hendaklah disusukan oleh ibunya selama
dua tahun penuh. Karena itu, ibunya sebaiknya tidak hamil lagi
sebelum cukup umur bayinya dua tahun. Atau dengan kata lain,
penjarangan kelahiran anak minimal tiga tahun, supaya anak bisa
sehat dan terhindar dari penyakit, karena susu ibulah yang paling
baik untuk pertumbuhan bayi, dibandingkan dengan susu buatan.[9]
Mengenai alat
kontrasepsi yang sering digunakan ber-KB, ada yang dibolehkan dan
ada pula yang diharamkan dalam Islam. Selanjutnya alat kontrasepsi
yang dibolehkan adalah:
a.
Untuk
Wanita; seperti:
1)
IUD
(ADR)
2)
Pil
3)
Obat
Suntik
4)
Susuk
5)
Cara-cara
tradisional ; misalnya minum jamu.
b.
Untuk
Pria; seperti:
1)
Kondom
2)
Coitus
Interruptus (Azal
menurut Islam)
Cara ini disepakati
oleh Ulama Islam bahwa boleh digunakan, berdasarkan dengan cara yang
telah dipraktekkan oleh para Sahabat Nabi semenjak beliau masih
hidup, sebagaimana keterangan sebuah Hadits yang bersumber dari
Jabir, berbunyi:
“Kami
pernah melakukan ‘azal (Coitus Interruptus) dimasa Rasulullah saw,
sedangkan Al-Qur’an (ketika itu) masih selalu turun.”
H.R.Bukhari – Muslim. Dan pada Hadits lain mengatakan: “Kami
pernah melakukan ‘azal (yang ketika itu) Nabi mengetahuinya,
tetapi ia tidak pernah melarang kami.”
H.R. Muslim, yang bersumber dari Jabir juga.
Penutup
Program
KB yang apabila dimaksudkan sebagai usaha pengaturan
keluarga/penjarangan kelahiran, atau usaha pencegahan kehamilan
sementara atau selamanya, sehubungan dengan situasi dan kondisi
khusus, untuk kepentingan keluarga bersangkutan atau untuk
kemaslahatan ummat (rakyat), dapat dijadikan bahan pertimbangan
untuk menetapkan hukum Islam, maka program tersebut hukumnya boleh
dalam Islam, karena pertimbangan kemaslahatan ummat (rakyat). tetapi
program KB tersebut tidak dengan pembatasan keturunan satu atau dua,
yang bertentangan dengan syariat islam.
Daftar
Pustaka
Hubeis, Umar,
Fatawa, Cet. 1. Surabaya : Fa. Pustaka Progressif, 1975.
Mahjuddin, Haji,
Masailul Fiqhiyah : Berbagai Kasus yang dihadapi “Hukum Islam”
Masa kini, Cet. 4. –Jakarta : Kalam Mulia, 2003.
Syaltut, Syaikh
Muhammad, Pembaruan Pemikiran Hukum Islam antara Fakta dan
Sejarah. Cet. 1. Yogyakarta : Lesfi, 2003.
Qaradhawi , Yusuf,
Fatwa-fatwa Kontemporer 2, penyunting, Subhan, M. Solihat.
–Cet. 1—Jakarta : Gema Insani, 1995.
Http://makalah-ibnu.blogspot.com/2009/11/kb-sterilisasi-dan-iud.html,
di unduh pada tanggal 29 Februari 2012.
[1]Drs.
H. Mahjuddin, Masailul
Fiqhiyah : Berbagai Kasus yang dihadapi “Hukum Islam” Masa
kini,
Cet. 4. –Jakarta : Kalam Mulia, 2003, h. 58-59.
[3]Syaikh
Muhammad Syaltut, Pembaruan
Pemikiran Hukum Islam antara Fakta dan Sejarah.
Cet. 1. Yogyakarta : Lesfi, 2003, h. 168-169.
[4]Syaikh
Muhammad Syaltut, Pembaruan
Pemikiran Hukum Islam antara Fakta dan Sejarah.
Cet. 1. Yogyakarta : Lesfi, 2003, h. 168-169.
[6]Syaikh
Muhammad Syaltut, Pembaruan
Pemikiran Hukum Islam antara Fakta dan Sejarah.
Cet. 1. Yogyakarta : Lesfi, 2003, h. 171.
[7]Drs.
H. Mahjuddin, Masailul
Fiqhiyah : Berbagai Kasus yang dihadapi “Hukum Islam” Masa
kini,
Cet. 4. –Jakarta : Kalam Mulia, 2003, h. 58-59.
[8]Syaikh
Muhammad Syaltut, Pembaruan
Pemikiran Hukum Islam antara Fakta dan Sejarah.
Cet. 1. Yogyakarta : Lesfi, 2003, h. 171.
[9]Drs.
H. Mahjuddin, Masailul
Fiqhiyah : Berbagai Kasus yang dihadapi “Hukum Islam” Masa
kini,
Cet. 4. –Jakarta : Kalam Mulia, 2003, h. 62.