Tampilkan postingan dengan label Program Keluarga Berencana (KB) dalam Perspektif Hukum Islam. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Program Keluarga Berencana (KB) dalam Perspektif Hukum Islam. Tampilkan semua postingan

Jumat, 29 Maret 2013

Program Keluarga Berencana (KB) dalam Perspektif Hukum Islam


Pendahuluan

Program Keluarga Berencana (KB) dalam Perspektif Hukum Islam. Islam menyukai banyaknya keturunan di kalangan umatnya. namun, Islam pun mengizinkan kepada setiap muslim untuk mengatur keturunan apabila didorong oleh alasan kuat. Hal yang masyhur digunakan pada zaman rasulullah untuk mengatur kelahiran adalah dengan azl. Sekarang lazim dikenal dengan pengaturan kelahiran atau Keluarga Berencana (KB).
 
Ada berbagai pertimbangan yang harus diperhatikan dalam berkeluarga termasuk mengenai perencanaan tentang pengaturan jumlah anak (KB), agar dapat menghasilkan keturunan yang berkualitas, diantaranya terpenuhi pendidikan, ekonomi dan mempertimbangkan kesehatan si ibu, memelihara jiwa dan melindunginya dari berbagai ancaman berarti memelihara eksistensi kehidupan umat manusia.
Namun adakalanya, tidak semua orang merasa senang dan bahagia dengan setiap kelahiran yang tidak direncanakan, karena faktor kemiskinan, hubungan di luar nikah dan
alasan-alasan lainnya. Hal ini mengakibatkan, ada juga sebagian wanita yang menggugurkan kandungannya setelah janin bersemi dalam rahimnya, hal tersebutlah yang dilarang oleh agama, kalau tidak ada udzurnya. Selanjutnya penulis akan membahas tentang program KB (Keluarga Berencana) dalam Perspektif Hukum Islam.
Pengertian Keluarga Berencana

Istilah Keluarga Berencana (KB), merupakan terjemahan dari Bahasa Inggris “Family Planning”[1]; yang dalam pelaksanaanya di Negara-negara Barat mencakup dua macam metode (cara) yaitu :
a.         Planning Parenthood

Pelaksanaan metode ini menitik beratkan tanggung jawab kedua orang tua untuk membentuk kehidupan rumah tangga yang aman, tenteram, damai, sejahtera dan bahagia; walaupun bukan dengan jalan membatasi jumlah anggota keluarga. Hal ini, lebih mendekati istilah Bahasa Arab تَنْظِيْمُ الَّنْسِل (pengaturan keturunan /kelahiran).
b.        Birth Control

Penerapan metode ini menekankan jumlah anak, atau menjarangkan kelahiran, sesuai dengan situasi dan kondisi suami-istri. Tetapi dalam prakteknya di Negara barat, cara ini juga membolehkan pengguguran kandungan (abortus dan menstrual regulation), pemandulan (sterilisasi) dan pembujangan.[2]
Untuk menjelaskan pengertian Keluarga Berencana di Indonesia, maka penulis mengemukakan dengan pengertian umum dan khusus; yaitu:
a.         Pengertian Umum
Keluarga Berencana ialah suatu usaha yang mengatur banyaknya jumlah kelahiran sedemikian rupa, sehingga bagi ibu maupun bayinya, dan bagi ayah serta keluarganya atau masyarakatnya yang bersangkutan, tidak akan menimbulkan kerugian sebagai akibat langsung dari kelahiran tersebut.

b.        Pengertian Khusus
Keluarga Berencana dalam kehidupan sehari-hari berkisar pada pencegahan konsepsi atau pencegahan terjadinya pembuahan, atau pencegahan pertemuan antara sel mani dari laki-laki dan sel telur dari perempuan sekitar persetubuhan.

Dari pengertian tersebut diatas, dapat dikatakan bahwa Keluarga Berencana adalah istilah yang resmi digunakan di Indonesia terhadap usaha-usaha untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan keluarga, dengan menerima dan mempraktekkan gagasan keluarga kecil yang potensial dan bahagia.

Keluarga Berencana (KB) dan Kependudukan

Pengertian Keluarga di sini adalah suatu kesatuan sosial terkecil di dalam masyarakat  yang diikat oleh jalinan perkawinan yang sah. Yang lazim disebut keluarga inti atau nuclear family, yang terdiri dari suami isteri dan anak-anak. Keluarga Berencana ini dilakukan dengan latarbelakang berbagai motivasi, adakalanya motivasi individual atau juga motivasi nasional yaitu suatu program yang dicanangkan oleh pemerintah suatu negara.
Beberapa negara di dunia saat ini menghadapi masalah kependudukan yang serius, karena laju pertumbuhan penduduk yang tinggi tidak seimbang dengan laju pertumbuhan ekonomi dan sektor-sektor kehidupan lainnya, sehingga usaha pemerintah memakmurkan dan mensejahterakan rakyatnya menghadapi kendala yang serius. Karena itulah, berbagai negara yang menghadapi masalah kependudukan, berusaha secara maksimal menekan laju pertumbuhan penduduknya.[3]

Status Hukum Keluarga Berencana (KB) dan Kependudukan

Dalam pembahasan ini, penulis hanya meninjau status hukumnya menurut Islam, dengan mendasarkan kepada nash Al-Quran dan Hadis serta logika (dalil aqli). Perdebatan pendapat yang terjadi dikalangan pakar hukum Islam tentang Keluarga Berencana, karena mereka mengasumsikan Keluarga Berencana itu dengan pengertian (pembatasan anak/keturunan), atau juga dengan pengertian (penyedikitan anak/keturunan) saja, tidak memberikan pemahaman yang lain.
Dari sini kemudian Syaltut memberikan pemahaman Keluarga Berencana dengan pengertian yang lain yaitu (pengaturan keturunan/penjarangan keturunan). Ini memberikan kontribusi sangat signifikan di Mesir, yang saat itu masyarakatnya masih kuat berfaham ortodoksi.
Kalau program KB itu dimaksudkan sebagai pembatasan keluarga/anak dalam jumlah tertentu, misalnya dua atau tiga untuk setiap keluarga dalam segala situasi dan kondisi tanpa kecuali, maka hal tersebut bertentangan dengan syari’at Islam, bertentangan pula dengan hukum alam dan hikmah Allah dalam penciptaan manusia ditengah-tengah alam semesta agar berkembang biak dan dapat memanfaatkan karunia-Nya untuk kesejahteraan hidupnya.[4]
Tetapi jika program KB itu dimaksudkan sebagai usaha pengaturan keluarga/penjarangan kelahiran, atau usaha pencegahan kehamilan sementara atau selamanya, sehubungan dengan situasi dan kondisi khusus, untuk kepentingan keluarga bersangkutan atau untuk kepentingan masyarakat dan negara, maka tidak dilarang oleh agama.[5]
Muhammad Syaltut dalam fatwanya sebagai berikut:

Adapun Pembatasan Keluarga (KB) dengan pengertian penjarangan keluarga (kelahiran), berkaitan dengan wanita yang amat subur (cepat mengandung), dan bagi wanita yang mengidap penyakit menular, dan juga bagi individu-individu yang kekurangan yaitu mereka yang lemah daya kekuatan mereka dalam menghadapi tanggungjawab yang besar, sedang mereka tidak mendapatkan pertolongan baik dari pemerintah atau orang-orang yang bisa meringankan beban mereka, maka Keluarga Berencana dengan pengertian pengaturan kelahiran ini tidak bertentangan dengan hukum alam dan tidak juga dilarang oleh syari’ah.[6]

            Dengan demikian Menurut Syaltut, diperbolehkannya melakukan Keluarga Berencana itu ada berbagai faktor yang harus di pertimbangkan yaitu: Pertama, terpeliharanya kesehatan dan keselamatan ibu si anak baik jasmani ataupun ruhani, selama mengandung, melahirkan dan memelihara anak. Kedua, terpeliharanya kesehatan, keselamatan, ruhani dan jasmani si anak sendiri, misalnya dari cacat fisik bila suami isteri atau salah satunya mengidap penyakit yang membahayakan anak keturunannya. Ketiga, terjaminnya masa depan pendidikan si anak supaya menjadi generasi yang kuat. Untuk menjadikan keluarga dan anak keturunan bermutu perlu tersedia dana, sarana, kemampuan dan waktu yang cukup untuk membinanya. Allah mengingatkan dalam Firmannya :
|·÷uø9ur šúïÏ%©!$# öqs9 (#qä.ts? ô`ÏB óOÎgÏÿù=yz Zp­ƒÍhèŒ $¸ÿ»yèÅÊ (#qèù%s{ öNÎgøŠn=tæ (#qà)­Guù=sù ©!$# (#qä9qà)uø9ur Zwöqs% #´ƒÏyÇÒÈ  
Artinya : “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan Perkataan yang benar.” (Q.S An-Nisa ayat: 9).

Ayat ini menerangkan bahwa kelemahan ekonomi, kurang stabilnya kondisi kesehatan pisik dan kelemahan intelegensia anak, akibat kekurangan makanan yang bergizi, menjadi tanggung jawab kedua orang tuanya. Maka disinilah peranan KB untuk membantu orang-orang yang tidak dapat menyanggupi hal tersebut, agar tidak berdosa di kemudian hari bila meninggalkan hal tersebut, agar tidak berdosa dikemudian hari bila meninggalkan keturunannya.[7]
Dalam perspektif pemikiran Syaltut, Keluarga Berencana semata-mata tidak diartikan sebagai upaya menekan pertumbuhan penduduk, melainkan pengaturan jarak kelahiran sebagai upaya meningkatkan kualitas hidup, melindungi kesehatan ibu dan anak, baik secara fisik atau psichis. Hak-hak reproduksi adalah hak setiap individu dan pasangan untuk menentukan kapan akan melahirkan, serta upaya apa untuk mewujudkan hak itu, asal tidak bertentangan dengan ajaran Islam dan prinsip moral yang utama dan sesuai dengan harkat martabat manusia.[8]
Dalam ayat lain disebutkan juga
* ßNºt$Î!ºuqø9$#ur z`÷èÅÊöム£`èdy»s9÷rr& Èû÷,s!öqym Èû÷ün=ÏB%x. ( ô`yJÏ9 yŠ#ur& br& ¨LÉêムsptã$|ʧ9$# 4n?tãur ÏŠqä9öqpRùQ$ ÇËÌÌÈ  
Artinya : “Para ibu, hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuannya . . .” (Q.S. Al-Baqarah : 62).
Ayat ini menerangkan bahwa anak hendaklah disusukan oleh ibunya selama dua tahun penuh. Karena itu, ibunya sebaiknya tidak hamil lagi sebelum cukup umur bayinya dua tahun. Atau dengan kata lain, penjarangan kelahiran anak minimal tiga tahun, supaya anak bisa sehat dan terhindar dari penyakit, karena susu ibulah yang paling baik untuk pertumbuhan bayi, dibandingkan dengan susu buatan.[9]
Mengenai alat kontrasepsi yang sering digunakan ber-KB, ada yang dibolehkan dan ada pula yang diharamkan dalam Islam. Selanjutnya alat kontrasepsi yang dibolehkan adalah:
a.         Untuk Wanita; seperti:
1)        IUD (ADR)
2)        Pil
3)        Obat Suntik
4)        Susuk
5)        Cara-cara tradisional ; misalnya minum jamu.
b.        Untuk Pria; seperti:
1)        Kondom
2)        Coitus Interruptus (Azal menurut Islam)
Cara ini disepakati oleh Ulama Islam bahwa boleh digunakan, berdasarkan dengan cara yang telah dipraktekkan oleh para Sahabat Nabi semenjak beliau masih hidup, sebagaimana keterangan sebuah Hadits yang bersumber dari Jabir, berbunyi:
Kami pernah melakukan ‘azal (Coitus Interruptus) dimasa Rasulullah saw, sedangkan Al-Qur’an (ketika itu) masih selalu turun.” H.R.Bukhari – Muslim. Dan pada Hadits lain mengatakan: “Kami pernah melakukan ‘azal (yang ketika itu) Nabi mengetahuinya, tetapi ia tidak pernah melarang kami.” H.R. Muslim, yang bersumber dari Jabir juga.

Penutup
            Program KB yang apabila dimaksudkan sebagai usaha pengaturan keluarga/penjarangan kelahiran, atau usaha pencegahan kehamilan sementara atau selamanya, sehubungan dengan situasi dan kondisi khusus, untuk kepentingan keluarga bersangkutan atau untuk kemaslahatan ummat (rakyat), dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk menetapkan hukum Islam, maka program tersebut hukumnya boleh dalam Islam, karena pertimbangan kemaslahatan ummat (rakyat). tetapi program KB tersebut tidak dengan pembatasan keturunan satu atau dua, yang bertentangan dengan syariat islam.

Daftar Pustaka
Hubeis, Umar, Fatawa, Cet. 1. Surabaya : Fa. Pustaka Progressif, 1975.
Mahjuddin, Haji, Masailul Fiqhiyah : Berbagai Kasus yang dihadapi “Hukum Islam” Masa kini, Cet. 4. –Jakarta : Kalam Mulia, 2003.
Syaltut, Syaikh Muhammad, Pembaruan Pemikiran Hukum Islam antara Fakta dan Sejarah. Cet. 1. Yogyakarta : Lesfi, 2003.
Qaradhawi , Yusuf, Fatwa-fatwa Kontemporer 2, penyunting, Subhan, M. Solihat. –Cet. 1—Jakarta : Gema Insani, 1995.


[1]Drs. H. Mahjuddin, Masailul Fiqhiyah : Berbagai Kasus yang dihadapi “Hukum Islam” Masa kini, Cet. 4. –Jakarta : Kalam Mulia, 2003, h. 58-59.
[2]Ibid.
[3]Syaikh Muhammad Syaltut, Pembaruan Pemikiran Hukum Islam antara Fakta dan Sejarah. Cet. 1. Yogyakarta : Lesfi, 2003, h. 168-169.
[4]Syaikh Muhammad Syaltut, Pembaruan Pemikiran Hukum Islam antara Fakta dan Sejarah. Cet. 1. Yogyakarta : Lesfi, 2003, h. 168-169.
[5]Ibid.,  h. 170.
[6]Syaikh Muhammad Syaltut, Pembaruan Pemikiran Hukum Islam antara Fakta dan Sejarah. Cet. 1. Yogyakarta : Lesfi, 2003, h. 171.
[7]Drs. H. Mahjuddin, Masailul Fiqhiyah : Berbagai Kasus yang dihadapi “Hukum Islam” Masa kini, Cet. 4. –Jakarta : Kalam Mulia, 2003, h. 58-59.
[8]Syaikh Muhammad Syaltut, Pembaruan Pemikiran Hukum Islam antara Fakta dan Sejarah. Cet. 1. Yogyakarta : Lesfi, 2003, h. 171.
[9]Drs. H. Mahjuddin, Masailul Fiqhiyah : Berbagai Kasus yang dihadapi “Hukum Islam” Masa kini, Cet. 4. –Jakarta : Kalam Mulia, 2003, h. 62.

BELA DIRI INDONESIA