Pendidikan
adalah proses memanusiakan manusia, pengangkatan manusia ketaraf
insani.Di dalamnya, pembelajaran merupakan komunikasi eksistensi
manusiawi yang otentik kepada manusia, untuk dimiliki, dilanjutkan, dan
disempurnakan. Artinya, pendidikan adalah usaha membawa manusia keluar
dari kebodohan, dengan membuka tabir aktual-transenden dari sifat alami
manusia (humannes).
Paradigma
pendidikan humanistik memandang manusia sebagai ”manusia”, yakni
makhluk ciptaan Tuhan dengan fitrah-fitrah tertentu। Sebagai makhluk
hidup ia harus melangsungkan, mempertahankan, dan mengembangkan hidup.
Sebagai makhluk batas (antara hewan dan malaikat), ia memiliki
sifat-sifat kehewanan (nafsu-nafsu rendah) dan sifat-sifat kemalaikatan
(budi luhur), sebagai makhluk dilematik ia selalu dihadapkan pada
pilihan-pilihan dalam hidupnya; sebagai makhluk moral, ia bergulat
dengan nilai-nilai; sebagai makhluk pribadi, ia memiliki kekuatan
konstruktif dan destruktif; sebagai makhluk sosial, ia memiliki hak-hak
sosial; sebagai hamba Tuhan, ia harus menunaikan kewajiban-kewajiban
keagamaannya. Ada beberapa nilai dan sikap dasar manusia yang ingin
diwujudkan melalui pendidikan humanistik yaitu: (1) manusia yang
menghargai dirinya sendiri sebagai manusia, (2) manusia yang menghargai
manusia lain seperti halnya dia menghargai dirinya sendiri, (3)manusia
memahami dan melaksanakan kewajiban dan hak-haknya sebagai manusia,
(4)manusia memanfaatkan seluruh potensi dirinya sesuai dengan kemampuan
yang dimilikinya, dan (5)manusia menyadari adanya Kekuatan Akhir yang
mengatur seluruh hidup manusia.
Pendapat-pendapat para pakar psikologi tentang pendidikan humanistik :
1. Abraham Maslow
Situs
www।e-psikologi.com/lain-lain/tokoh.htm menyebutkan bahwa Abraham
Maslow dilahirkan di Brooklyn, New York, pada tahun 1908 dan wafat pada
tahun 1970 dalam usia 62 tahun. Abraham Maslow dikenal sebagai pelopor
aliran psikologi humanistik. Maslow percaya bahwa manusia tergerak
untuk memahami dan menerima dirinya sebisa mungkin. Teorinya yang
sangat terkenal sampai dengan hari ini adalah teori tentang Hierarchy
of Needs (Hirarki Kebutuhan). Menurut Maslow, manusia termotivasi untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Kebutuhan-kebutuhan tersebut
memiliki tingkatan atau hirarki, mulai dari yang paling rendah
(bersifat dasar/fisiologis) sampai yang paling tinggi (aktualisasi
diri). Hierarchy of needs (hirarki kebutuhan) dari Maslow menyatakan
bahwa manusia memiliki 5 macam kebutuhan yaitu physiological needs
(kebutuhan fisiologis), safety and security needs (kebutuhan akan rasa
aman), love and belonging needs (kebutuhan akan rasa kasih sayang dan
rasa memiliki), esteem needs (kebutuhan akan harga diri), dan,
self-actualization (kebutuhan akan aktualisasi diri).
a. Kebutuhan Fisiologis
Jenis
kebutuhan ini berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan dasar semua
manusia seperti, makan, minum, menghirup udara, dan sebagainya।
Termasuk juga kebutuhan untuk istirahat, buang air besar atau kecil,
menghindari rasa sakit, dan, seks. Jika kebutuhan dasar ini tidak
terpenuhi, maka tubuh akan menjadi rentan terhadap penyakit, terasa
lemah, tidak fit, sehingga proses untuk memenuhi kebutuhan selanjutnya
dapat terhambat. Hal ini juga berlaku pada setiap jenis kebutuhan
lainnya, yaitu jika terdapat kebutuhan yang tidak terpenuhi, maka akan
sulit untuk memenuhi kebutuhan yang lebih tinggi.
Ketika
kebutuhan fisiologis seseorang telah terpenuhi secara layak, kebutuhan
akan rasa aman mulai muncul। Keadaan aman, stabilitas, proteksi, dan
keteraturan akan menjadi kebutuhan yang meningkat. Jika tidak
terpenuhi, maka akan timbul rasa cemas dan takut sehingga dapat
menghambat pemenuhan kebutuhan lainnya.
c. Kebutuhan akan Rasa Kasih Sayang
Ketika
seseorang merasa bahwa kedua jenis kebutuhan di atas terpenuhi, maka
akan mulai timbul kebutuhan akan rasa kasih sayang dan rasa memiliki।
Hal ini dapat terlihat dalam usaha seseorang untuk mencari dan
mendapatkan teman, kekasih, anak, atau bahkan keinginan untuk menjadi
bagian dari suatu komunitas tertentu seperti tim sepakbola, klub
peminatan, dan seterusnya. Jika tidak terpenuhi, maka perasaan kesepian
akan timbul.
d. Kebutuhan akan Harga Diri
Kemudian,
setelah ketiga kebutuhan di atas terpenuhi, akan timbul kebutuhan akan
harga diri। Menurut Maslow, terdapat dua jenis, yaitu lower one dan
higher one. Lower one berkaitan dengan kebutuhan seperti status,
atensi, dan reputasi. Sedangkan higher one berkaitan dengan kebutuhan
akan kepercayaan diri, kompetensi, prestasi, kemandirian, dan
kebebasan. Jika kebutuhan ini tidak terpenuhi, maka dapat timbul
perasaan rendah diri dan inferior.
e. Kebutuhan akan Aktualisasi Diri
Kebutuhan
terakhir menurut hirarki kebutuhan Maslow adalah kebutuhan akan
aktualisasi diri। Jenis kebutuhan ini berkaitan erat dengan keinginan
untuk mewujudkan dan mengembangkan potensi diri. Menurut Abraham
Maslow, kepribadian bisa mencapai peringkat teratas ketika
kebutuhan-kebutuhan primer ini banyak mengalami interaksi satu dengan
yang lain, dan dengan aktualisasi diri seseorang akan bisa memanfaatkan
faktor potensialnya secara sempurna.
2. Carl Ransom Rogers
Situs।http://www.geocities.com/masterptvpsikologi/psikologihumanistik.pdf)
menyebutkan bahwa, Carl Ransom Rogers dilahirkan pada 8 Januari 1902 di
Oak Park, Illinois dan meninggal dunia di La Jolla, California, pada 4
Februari 1987 sewaktu berumur 85 tahun. Carl Rogers adalah seorang
psikolog humanistik yang menekankan perlunya sikap saling menghargai
dan tanpa prasangka (antara klien dan terapis) dalam membantu individu
mengatasi masalah-masalah kehidupannya. Carl Rogers menyakini bahwa
berbagai masukan yang ada pada diri seseorang tentang dunianya sesuai
dengan pengalaman pribadinya. Masukan-masukan ini mengarahkannya secara
mutlak ke arah pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dirinya. Rogers
menegaskan, dalam pengembangan diri seorang pribadi akan berusaha keras
demi aktualisasi diri (self actualisation), pemeliharaan diri (self
maintenance), dan peningkatan diri (self inhancement).
Naisaban
(2004) menyebutkan bahwa Rogers dianggap penting tidak hanya sebagai
teoretisi tapi juga sebagai praktisi psikoterapi. Konsep mengenai
kepribadian dan terapi berkisar pada gagasan dan kepercayaan bahwa
predominasi (keunggulan) mendasar diri yang subjektif dan bahwa manusia
hidup dalam dunia pribadi dan subjektif. Rogers mengatakan bahwa
individu mempunyai seperangkat persepsi yang terorganisir dari dirinya
serta hubungannya dengan orang lain. Konsep diri tidak berkeping-keping
tetapi suatu “gestalt” dengan suatu pola koheren dan terpadu. Sebagai
tambahan pada konsep diri, individu mempunyai Ideal Self, yaitu apa
yang diinginkan, cita-cita atau dianggap seharusnya demikian. Rogers
memakai ketidaksesuaian antar konsep diri dengan Ideal Self sebagai
ukuran ketidakmampuan menyesuaikan diri.
Rogers berpendapat bahwa sering ada ketidaksesuaian antara konsep diri seseorang dengan kenyataan. Orang-orang muda terkena rasa cemas bila konsep dirinya tidak sesuai dengan kenyataan. Bila pengalaman tidak mendukung pandangan seseorang atas dirinya sendiri, maka ia mungkin akan mengerahkan berbagai mekanisme pertahanan diri. Rogers yakin bahwa ada penyesuaian psikologis bila konsep diri ada dalam posisi sedemikian rupa sehingga semua pengalaman organisme membaur ke dalam hubungan yang konsisten dengan konsep diri.
Rogers sangat percaya dan optimis terhadap sifat alami manusia। Dia yakin bahwa dorongan paling dasar adalah aktualisasi, yaitu memelihara, menegakkan, mempertahankan diri, dan meningkatkan diri sendiri. Dia percaya bahwa dengan memberikan satu kesempatan, individu akan berkembang dalam gerak maju dan punya car-cara untuk menyesuaikan diri. Namun, banyak nilai dan sikap bukan merupakan buah dari pengalaman langsung diri sendiri, akan tetapi merupakan introyeksi dari orang tua, guru, dan teman, dan menyebabkan terjadinya simbolisasi yang menyimpang atau yang diputarbalikkan yang menyebabkan terjadinya intergrasi yang salah atau tidak wajar dalam jati dirinya. Sebagai akibatnya, banyak individu terbelah, tidak bahagia, dan tidak mampu merealisasikan secara penuh potensi-potensinya. Oleh karena itu, proses penyuluhan non-direktif memungkinkan individu bisa menemukan perasaannya yang sejati mengenai kehormatan dirinya yang positif serta kondisi-kondisi harga dirinya (Naisaban, 2004).
3. Charles Bouille (sekitar 1475-1553),Rogers berpendapat bahwa sering ada ketidaksesuaian antara konsep diri seseorang dengan kenyataan. Orang-orang muda terkena rasa cemas bila konsep dirinya tidak sesuai dengan kenyataan. Bila pengalaman tidak mendukung pandangan seseorang atas dirinya sendiri, maka ia mungkin akan mengerahkan berbagai mekanisme pertahanan diri. Rogers yakin bahwa ada penyesuaian psikologis bila konsep diri ada dalam posisi sedemikian rupa sehingga semua pengalaman organisme membaur ke dalam hubungan yang konsisten dengan konsep diri.
Rogers sangat percaya dan optimis terhadap sifat alami manusia। Dia yakin bahwa dorongan paling dasar adalah aktualisasi, yaitu memelihara, menegakkan, mempertahankan diri, dan meningkatkan diri sendiri. Dia percaya bahwa dengan memberikan satu kesempatan, individu akan berkembang dalam gerak maju dan punya car-cara untuk menyesuaikan diri. Namun, banyak nilai dan sikap bukan merupakan buah dari pengalaman langsung diri sendiri, akan tetapi merupakan introyeksi dari orang tua, guru, dan teman, dan menyebabkan terjadinya simbolisasi yang menyimpang atau yang diputarbalikkan yang menyebabkan terjadinya intergrasi yang salah atau tidak wajar dalam jati dirinya. Sebagai akibatnya, banyak individu terbelah, tidak bahagia, dan tidak mampu merealisasikan secara penuh potensi-potensinya. Oleh karena itu, proses penyuluhan non-direktif memungkinkan individu bisa menemukan perasaannya yang sejati mengenai kehormatan dirinya yang positif serta kondisi-kondisi harga dirinya (Naisaban, 2004).
Charles
Bouille adalah seorang humanis Prancis, dalam bukunya yang berjudul De
Sapiente। Dalam buku ini dia mensejajarkan manusia yang cerdas dengan
Phyromitos. Kesejajaran ini terletak pada akal yang diberikan kepada
manusia agar bisa menyempurnakan tabiatnya. Dengan
penelitian-penelitian teoritis yang efektif, dan dengan keyakinannya
yang ekstrim, Bouille mengupas soal kelayakan dan kapabilitas manusia
untuk membentuk kehidupannya sendiri di dunia. Keyakinan inipun menjadi
semakin tajam dengan kemajuan-kemajuan skeptisisme yang dicapai
humanisme di luar Italia pada abad pertengahan.
4. Psikolog AS Rollo May (kelahiran 1909)
AS
Rollo May berpendapat bahwa kita tidak menyadari karakteristik
fundamental manusia sebagai wujud yang mengenyam pengalaman, dan bahwa
pengalaman ini termanifestasi untuknya। Menurutnya, kesadaran manusia
terhadap kefanaannya akan mempengaruhi kehidupan manusia. Psikolog lain
dari AS, Clark Moustakes, berpendapat bahwa kesendirian seseorang akan
mempengaruhi pribadi dan perilakunya. Dia menulis, selagi eksistensi
kesendirian (existential louneliness) merupakan bagian yang tak dapat
dihindari dalam pengalaman manusia, maka kesunyian yang berasal dari
keterasingan dan pengingkaran diri ini bisa menciptakan guncangan keras.
Dari catatan di atas terlihat bahwa para psikolog humanis melihat pribadi manusia sebagai wujud yang sepenuhnya terpusat kepada dirinya sendiri। Menurut pandangan ini, setiap orang adalah sosok yang tunggal dan bukan dalam bentuk individu-individu dari satu spesis yang sama। Karena itu, setiap individu terkonsentrasi sepenuhnya kepada dirinya sendiri, bahkan dalam hal yang menyangkut tatanan nilai yang menguasai perilakunya। Perspektif para humanis terlihat juga menempatkan sebab pelaku (‘illaf fai’iliah) dan sebab tujuan (‘illah gha-iah) di dalam diri manusia sehingga individu bisa mengaktualisasikan segenap potensi dirinya tidak hanya dalam bentuk yang terasing dari sebab-sebab di luar, tetapi bahkan juga dalam posisi yang mengemban tujuan dari perwujudan dirinya, dan individu ini sepenuhnya bertumpu pada dirinya sendiri dalam proses aktualisasi diri, pemeliharaan diri, dan peningkatan diri. Dan eksistensi kesendirian ini menurut para psikolog bisa menimbulkan keguncangan di luar batas. Sebagai aktualisasi makna dari pendidikan humanistik dalam proses pembelajaran. Sugihartono, dkk (2004) menyatakan bahwa teori humanistik adalah suatu teori yang bertujuan memanusiakan manusia. Tujuan utama para pendidik adalah membantu para siswa untuk mengembangkan dirinya, yaitu membantu masing-masing individu untuk mengenal diri mereka sendiri sebagai manusia yang unik dan membantu dalam mewujudkan potensi-potensi yang ada pada diri mereka. Kerangka Berpikir dari Teori belajar Humanitik adalah : (1) merumuskan tujuan belajar yang jelas, (2) mengusahakan partisipasi aktif siswa melalui kontrak belajar yang bersifat jelas, jujur dan positif. (3) mendorong siswa untuk mengembangkan kesanggupan siswa untuk belajar atas inisiatif sendiri, (4) mendorong siswa untuk peka, berpikir kritis, memaknai proses pembelajaran secara mandiri, (5) siswa didorong untuk bebas mengemukakan pendapat, memilih pilihannya sendiri, melakukan apa yang diinginkan dan menanggung resiko dari perilaku yang ditunjukan, (6) guru menerima siswa apa adanya, berusaha memahai jalan pikiran siswa, tidak menilai secara normatif tetapi mendorong siswa untuk bertanggung jawab atas segala resiko perbuatan atau proses belajarnya, (7) memberikan kesempatan murid untuk maju sesuai dengan kecepatan, (8) evaluasi diberikan secara individual berdasarkan perolehan prestasi siswa.
Aplikasi teori humanistik lebih menunjuk pada ruh atau spirit selama proses pembelajaran yang mewarnai metode-metode yang diterapkan। Peran guru dalam pembelajaran humanistik adalah menjadi fasilitator bagi para siswa sedangkan guru memberi motivasi, kesadaran mengenai makna belajar dalam kehidupan siswa. Guru memfasilitasi pengalaman belajar kepada siswa dan mendampingi siswa untuk memperoleh tujuan pembelajaran. Siswa berperan sebagai pelaku utama (student center) yang memaknai proses pengalaman belajarnya sendiri. Diharapkan siswa memahami potensi diri, mengembangkan potensi dirinya secara positif dan meminimalkan potensi diri yang bersifat negatif.
Dari catatan di atas terlihat bahwa para psikolog humanis melihat pribadi manusia sebagai wujud yang sepenuhnya terpusat kepada dirinya sendiri। Menurut pandangan ini, setiap orang adalah sosok yang tunggal dan bukan dalam bentuk individu-individu dari satu spesis yang sama। Karena itu, setiap individu terkonsentrasi sepenuhnya kepada dirinya sendiri, bahkan dalam hal yang menyangkut tatanan nilai yang menguasai perilakunya। Perspektif para humanis terlihat juga menempatkan sebab pelaku (‘illaf fai’iliah) dan sebab tujuan (‘illah gha-iah) di dalam diri manusia sehingga individu bisa mengaktualisasikan segenap potensi dirinya tidak hanya dalam bentuk yang terasing dari sebab-sebab di luar, tetapi bahkan juga dalam posisi yang mengemban tujuan dari perwujudan dirinya, dan individu ini sepenuhnya bertumpu pada dirinya sendiri dalam proses aktualisasi diri, pemeliharaan diri, dan peningkatan diri. Dan eksistensi kesendirian ini menurut para psikolog bisa menimbulkan keguncangan di luar batas. Sebagai aktualisasi makna dari pendidikan humanistik dalam proses pembelajaran. Sugihartono, dkk (2004) menyatakan bahwa teori humanistik adalah suatu teori yang bertujuan memanusiakan manusia. Tujuan utama para pendidik adalah membantu para siswa untuk mengembangkan dirinya, yaitu membantu masing-masing individu untuk mengenal diri mereka sendiri sebagai manusia yang unik dan membantu dalam mewujudkan potensi-potensi yang ada pada diri mereka. Kerangka Berpikir dari Teori belajar Humanitik adalah : (1) merumuskan tujuan belajar yang jelas, (2) mengusahakan partisipasi aktif siswa melalui kontrak belajar yang bersifat jelas, jujur dan positif. (3) mendorong siswa untuk mengembangkan kesanggupan siswa untuk belajar atas inisiatif sendiri, (4) mendorong siswa untuk peka, berpikir kritis, memaknai proses pembelajaran secara mandiri, (5) siswa didorong untuk bebas mengemukakan pendapat, memilih pilihannya sendiri, melakukan apa yang diinginkan dan menanggung resiko dari perilaku yang ditunjukan, (6) guru menerima siswa apa adanya, berusaha memahai jalan pikiran siswa, tidak menilai secara normatif tetapi mendorong siswa untuk bertanggung jawab atas segala resiko perbuatan atau proses belajarnya, (7) memberikan kesempatan murid untuk maju sesuai dengan kecepatan, (8) evaluasi diberikan secara individual berdasarkan perolehan prestasi siswa.
Aplikasi teori humanistik lebih menunjuk pada ruh atau spirit selama proses pembelajaran yang mewarnai metode-metode yang diterapkan। Peran guru dalam pembelajaran humanistik adalah menjadi fasilitator bagi para siswa sedangkan guru memberi motivasi, kesadaran mengenai makna belajar dalam kehidupan siswa. Guru memfasilitasi pengalaman belajar kepada siswa dan mendampingi siswa untuk memperoleh tujuan pembelajaran. Siswa berperan sebagai pelaku utama (student center) yang memaknai proses pengalaman belajarnya sendiri. Diharapkan siswa memahami potensi diri, mengembangkan potensi dirinya secara positif dan meminimalkan potensi diri yang bersifat negatif.
Sugihartono,
dkk (2004) menyatakan bahwa teori pembelajaran humanistik memiliki
beberapa kekurangan dan kelebihan adalah : Kekurangan : 1) jika tidak
terkontrol, murid akan mempunyai sikap egois yang tinggi। Melakukan apa
yang mereka inginkan tanpa batas। 2) guru tidak bisa memaksakan materi
yang tidak disukai. Sedangkan kelebihan dari teori pembelajaran
humanitik : 1) memanusiakan manusia, 2) teori yang paling cocok
diterapkan untuk pembentukan kepribadian, hati nurani, perubahan sikap
dan analisis terhadap fenomena social, 3) siswa merasa senang
bergairah, berinisiatif dalam belajar dan terjadi perubahan pola pikir,
perilaku dan sikap atas kemauan sendiri.Y Priyono Pasti (2004). Dalam
sebuah artikel pada harian Kompas (Desember 2004) menyatakan bahwa,
Saat ini model pendidikan yang dibutuhkan adalah model pendidikan yang
demokratis, partisipatif, dan humanis: yaitu adanya suasana saling
menghargai, adanya kebebasan berpendapat/berbicara, kebebasan
mengungkapkan gagasan, adanya keterlibatan peserta didik dalam berbagai
aktivitas di sekolah, dan kemampuan hidup bersama dengan teman yang
mempunyai pandangan berbeda. Oleh karena itu, paradigma pembelajaran
dan pendidikan seyogianya merupakan sebuah paradigma pembelajaran yang
sedari tingkat filosofis, strategi, pendekatan proses dan teknologi
pembelajarannya menuju ke arah pembebasan anak didik dengan segala
eksistensinya.
Model
pendidikan dan pembelajaran yang didominasi kegiatan ceramah, yang
menempatkan guru sebagai figur sentral dalam proses pembelajaran di
kelas karena banyak berbicara, sementara siswa hanya duduk manis
menjadi pendengar pasif dan mencatat apa yang diperintahkan guru, harus
segera ditinggalkan. Paling tidak dikurangi. Sebaliknya, model
pembelajaran yang memberikan peluang yang lebih luas kepada peserta
didik untuk terlibat aktif dalam mengonstruksi pengetahuan dan
pemahamannya dalam proses ”pemanusiaannya” mutlak ditumbuhkembangkan.
Sebagai upaya mendorong agar terciptanya model pendidikan yang
demokratis dan humanistik meminjam gagasan Paul Suparno, dkk (Reformasi
Pendidikan Sebuah Rekomendasi dalam Y Priyono Pasti, Kompas 2004) ada
beberapa hal yang mesti dilakukan.
1. Hindari indoktrinasi. Biarkan siswa aktif dalam berbuat, bertanya, bersikap kritis terhadap apa yang dipelajarinya, dan mengungkapkan alternatif pandangannya yang berbeda dengan gurunya.
2. Hindari paham bahwa hanya ada satu nilai saja yang benar. Guru tidak berpandangan bahwa apa yang disampaikannya adalah yang paling benar. Seharusnya yang dikembangkan adalah memberi ruang yang cukup lapang akan hadirnya gagasan alternatif dan kreatif terhadap penyelesaian suatu persoalan.
3. Beri anak kebebasan untuk berbicara. Siswa mesti dibiasakan untuk berbicara. Siswa berbicara dalam konteks penyampaian gagasan serta proses membangun dan meneguhkan sebuah pengertian harus diberi ruang yang seluas-luasnya.
4. Berilah ”peluang” bahwa siswa boleh berbuat salah. Kesalahan merupakan bagian penting dalam pemahaman. Guru dan siswa menelusuri bersama di mana telah terjadi kesalahan dan membantu meletakkannya dalam kerangka yang benar.
5. Kembangkan cara berpikir ilmiah dan berpikir kritis. Dengan ini siswa diarahkan untuk tidak selalu mengiyakan apa yang dia terima, melainkan dapat memahami sebuah pengertian dan memahami mengapa harus demikian.
6. Berilah kesempatan yang luas kepada siswa untuk bermimpi dan berfantasi (gagasan Paulo Freire). Kesempatan bermimpi dan berfantasi bagi siswa menjadikan dirinya memiliki waktu untuk dapat berandai-andai tentang sesuatu yang menjadi keinginannya. Dengan cara demikian, siswa dapat berandai-andai mengenai berbagai kemungkinan cara dan peluang untuk mencari inspirasi serta untuk mewujudkan rasa ingin tahunya. Hal demikian pada gilirannya menanti dan menantang siswa untuk menelusuri dan mewujudkannya dalam aktivitas yang sesungguhnya.
1. Hindari indoktrinasi. Biarkan siswa aktif dalam berbuat, bertanya, bersikap kritis terhadap apa yang dipelajarinya, dan mengungkapkan alternatif pandangannya yang berbeda dengan gurunya.
2. Hindari paham bahwa hanya ada satu nilai saja yang benar. Guru tidak berpandangan bahwa apa yang disampaikannya adalah yang paling benar. Seharusnya yang dikembangkan adalah memberi ruang yang cukup lapang akan hadirnya gagasan alternatif dan kreatif terhadap penyelesaian suatu persoalan.
3. Beri anak kebebasan untuk berbicara. Siswa mesti dibiasakan untuk berbicara. Siswa berbicara dalam konteks penyampaian gagasan serta proses membangun dan meneguhkan sebuah pengertian harus diberi ruang yang seluas-luasnya.
4. Berilah ”peluang” bahwa siswa boleh berbuat salah. Kesalahan merupakan bagian penting dalam pemahaman. Guru dan siswa menelusuri bersama di mana telah terjadi kesalahan dan membantu meletakkannya dalam kerangka yang benar.
5. Kembangkan cara berpikir ilmiah dan berpikir kritis. Dengan ini siswa diarahkan untuk tidak selalu mengiyakan apa yang dia terima, melainkan dapat memahami sebuah pengertian dan memahami mengapa harus demikian.
6. Berilah kesempatan yang luas kepada siswa untuk bermimpi dan berfantasi (gagasan Paulo Freire). Kesempatan bermimpi dan berfantasi bagi siswa menjadikan dirinya memiliki waktu untuk dapat berandai-andai tentang sesuatu yang menjadi keinginannya. Dengan cara demikian, siswa dapat berandai-andai mengenai berbagai kemungkinan cara dan peluang untuk mencari inspirasi serta untuk mewujudkan rasa ingin tahunya. Hal demikian pada gilirannya menanti dan menantang siswa untuk menelusuri dan mewujudkannya dalam aktivitas yang sesungguhnya.
Sumber Rujukan dalam bentuk FILE.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar