CIRI DAN PRINSIP KURIKULUM
PENDIDIKAN ISLAM
Oleh
A’an Minan Nur Rohman, S.Pd.I
A.
PENDAHULUAN
Seiring
dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu cepat,[1] dewasa
ini pendidikan menjadi salah satu barometer dalam menentukan tingkat daya saing
bangsa pada tataran Global, tak ayal masing-masing Negara berlomba
menyelenggarakan pendidikan yang bermutu serta berkualitas. Untuk memperoleh
hasil pendidikan yang bermutu maka tidak boleh tidak sebuah pendidikan harus
mempunyai perencanaan yang matang, pelaksanaan peremcanaan serta evaluasi yang
reliable.
Adalah
kurikulum yang memiliki esensi berupa program dalam mencapai tujuan. [2] Sebagai
sebuah rencana,[3]
kurikulum mempunyai peran sentral dalam menunjang keberhasilan sebuah
pendidikan, terutama pendidikan Islam yang bertujuan membentuk akhlakul
karimah, maka kurikulum yang direncanakan serta dikembangkan haruslah
benar-benar memenuhi kriteria-kriteria yang memungkin tercapainya tujuan
pendidikan Islam .
Antara
tujuan pendidikan Islam dengan program (kurikulum) merupakan kesatuan yang
tidak bisa dipisahkan, hal ini disebabkan karena suatu tujuan yang hendak
dicapai haruslah terlukiskan di dalam program (kurikulum), bahkan program
itulah yang akan mencerminkan arah dan tujuan yang diinginkan dalam proses
kependidikan. [4]
Kurikulum
menjadi landasan berpijak suatu lembaga pendidikan untuk melangkah lebih jauh
mengembangkan cirri khas suatu lembaga penididikan dengan corak dan warna yang
berbeda tergantung latar belakang lembaga tersebt. Apabila suatu lembaga
pendidikan bernafasakan Internasioanal maka kurikulum yang disusunpun harus
mengedepankan daya saing internasional, apabila suatu lembaga pendidikan
bernafaskan Islam maka dapat dipastikan kurikulum yang dibentuk juga akan
terkontaminasi bahkan sengaja memasukkan muatan-muatan agama sebagai
konsekuansi dari ke khasan suatu lembaga.
Kurikulum
pendidikan Islam tentu berbeda dengan kurikulum pendidikan pada umumnya dengan ciri-ciri
dan prinsip-prinsip yang yang dimiliki oleh pendidikan Islam, makalah sederhana
ini akan mencoba menelaah karakteristik kurikulum pendidikan Islam dan
prinsip-prinsip dalam penyusunan kurikulum pendidikan Islam beserta
dinamikanya.
B.
PEMBAHASAN
1. Pengertian
Kurikulum
Dari berbagai literatur yang membahas tentang
kurikulum, pakar pendidikan memberikqn pendapat bahwa kata kurikulum berasal dari bahasa Yunani, yaitu curir yang berarti berlari dan curere
yang berarti tempat berpacu.[5] Dengan
demikian dapat difahami pengambilan istilah kurikulum berasal dari istilah dunia
olah raga yang mempunyai arti suatu
batas/jarak yang harus dilalui oleh seorang pelari dari garis awal sampai akhir
dalam perlombaan lari estafet.[6]
Selanjutnya istilah kurikulum tersebut dipakai dan
mengalami perubahan makna sesuai dengan perkembangan dan dinamika dunia
pendidikan, meskipun sejauh ini belum diketahui secara pasti kapan istilah
kurikulum masuk ke dalam dunia pendidikan beserta para tokohnya. Sehingga
kurikulum secara sempit bisa diartikan sebagai seperangkat materi pendidikan
dan pengajaran yang diberikan kepada murid sesuai dengan tujuan pendidikan yang
akan dicapai.[7]
Sedangkan secara luas kurikulum adalah semua aktiftas yang diprogram oleh
lembaga pendidikan kepada peserta didik untuk mencapai tujuan pendidikan.[8]
Kurikulum dalam arti sempit lebih cocok dimengerti
dan dilakukan pendidik, sedangkan kurikulum dalam arti luas relevan difahami
dan dilakukan oleh pimpinan sekolah beserta pembantu-pembantunya, karena
melukiskan domain pemikiran, perencanaan dan tanggungjawabnya dalam pelaksanaan
untuk mencapai tujuan yang dicanangkan serta menjadikan sekolah mempunyai daya
saing yang tinggi.[9]
Dalam bahasa Arab istilah kurikulum disebut dengan
istilah manhaj atau minhaj yang mempunyai arti beberapa rencana
dan perantara yang telah ditentukan sebuah lembaga pendidikan untuk mencapai
suatu tujuan pendidikan. [10] Sedangkan
menurut Ramayulis manhaj diartikan sebagai jalan terang yang dilalui
manusia dalam berbagai sendi kehidupannya. Istilah ini kelihatannya lebih luas
bila dibandingkan dengan istilah kurikulum yang diambil dari bahasa Yunani
terbatas pada dunia olah raga saja. Maka kata manhaj dalam bahasa Arab sudah digunakan dalam dunia
pendidikan dengan pengertian pengetahuan atau mata pelajaran yang harus
ditempuh oleh peserta didik untuk mendapatkan ijazah atau tingkatan tertentu. [11]
Dari beberapa definisi kurikulum diatas, hakikat
dari kurikulum adalah suatu program yang direncanakan dan dilaksanakan untuk
mencapai sebuah tujuan pendidikan tertentu. Kemudian, jika disambungkan dengan
filsafat dan pendidikan Islam, kurikulum pendidikan Islam mempunyai arti
sebagai suatu rangkaian program yang mengarahkan kegiatan belajar mengajar
secara sistemtis dan berarah tujuan serta melukiskan cita-cita nilai-nilai keIslaman.[12]
2. Ontologi,
Epistemologi, dan Aksiologi Kurikulum
Menyinggung
masalah ontologi, epistemologi dan aksiologi kurikulum pendidikan, ada
keterkaitan antara definisi kurikulum yang merupakan batasan dari kurikulum itu
sendiri. Telah disebutkan diatas definisi kurikulum yang bersifat sempit yang
tertuju kepada satu mata pelajaran saja dan definisi kurikulum yang lebih luas
dengan dikaitkan aktifitas-aktifitas kehidupan dan ketrampilan hidup, maka jika
kita mengambil pengertian yang lebih menengah yang disebut dengan modern,
kurikulum diartikan tidak hanya sejumlah mata pelajaran yang harus diselesaikan
peserta didik lagi, melainkan sudah berkembang kepada aktifitas lembaga
pendidikan yang mendorong peserta didik untuk belajar. [13]
a. Ontologi
Dari aspek ontology,
pengertian kurikulum yang telah disebut di atas berarti kerukulum dipertanyakan
dari sisi “perencanaan lembaga pendidikan sampai pada aktifitas belajar peserta
didiknya “.[14]
Jadi apa saja rencana dan aktifitas pembelajarn yang dilakukan lembaga
pendidikan dalam rangka mencapai tujuan pendidikan yang telah dicanangkan.
Maka, perencanaan dan aktifitas pembelajaran terhadap peserta didik akan
dipertanyakan meaning ful-nya bagi pendidik dan peserta didik untuk
mencapai tujuan pendidikan.[15]
b. Epistemologi
Pada tataran
epistemology, kurikulum berarti dipertanyakan sampai sejauh mana proses
pendesainan dan pelaksanaan pembelajaran yang dilakukan oleh suatu lembaga
pendidikan. Dari sudut pandang ini, aspek bagaimana kurikulum direfleksikan ke
dalam perencanaan dan diwujudkan ke dalam aktifitas pembelajaran adalah
persoalan utama kurikulum yang harus dijawab. Pada garis besarnya adalah
bagaimana akuntabilitas dan transparansi pada aspek perencanaan dan aktifitas
pembelajaran dapat dilakukan oleh para pelaku kurikulum, sehingga menjadi “ meaning
ful” terhadap
pencapaian tujuan pendidikan. Dengan demikian keseluruhan dari semua elemen
yang berhubungan dengan kurikulum harus diperhatikan, karena totalitas tersebut
akan memberikan pengaruh dan konstribusi pada pencapaian tujuan pendidikan.[16]
c. Aksiologi
Pada aspek aksiologi,
kurikulum dipertanyakan dari segi kemaslahatan bagi masyarakat, nilai guna apa
yang diberikan kurikulum untuk kepentingan hajat orang banyak. Di lain hal
aspek aksiologi ini menyangkut aspek azaz sosiologis kurikulum yang
mempertanyakan seberapa besar relevansi kurikulum dengan kebutuhan masyarakat.
Apakah nilai yang dihasilkan dari suatu aktifitas pembelajaran pada suatu
lembaga pendidikan memiliki relevansi yang tinggi terhadap kebutuhan masyarakat.
Salah satu ukuran yang bisa diterapkan adalah dengan menganalisis sejauh mana
tingkat kegunaan ilmu yang dimiliki para lulusan dalam berkiprah dalam
masyarakat yang sesungguhnya, [17] jangan sampai out put
pendidikan hanya menjadi beban bagi bagi masyarakat. Dengan demikian bisa
dikatakan bahwa nilai aksiologis dari suatu kurikulum harus benar-benar
dipertimbangkan relevansinya dari konteks budaya masyarakat lingkungan,
sehingga lulusan dapat berbaur dengan masyarakat sendiri dan tidak hadir
sebagai Orang Asing pada masyarakat.[18]
3. Ciri
Kurikulum Pendidikan Islam
Setelah
kita memahami pengertian kurikulum dan dinamikanya, selanjutnya lebih spisifik
kita memahami ciri kurikulum pendidikan Islam yang tentunya memiliki perbedaan dengan
kurikulum pendidikan pada umumnya. Secara umum ciri kurikulum pendidikan Islam
merupakan pencerminan nilai-nilai Islami yang diperoleh dari hasil pemikiran kefilsafatan
dan diprektekkan dalam semua kegiatan kependidikan. Maka bisa dikatakan bahwa ciri
kurikulum pendidikan Islam selalu memiliki keterkaitan dengan Al-Qur’an dan
al-Hadits. Konsep inilah yang membedakan dengan pendidikan pada umumnya. [19]
Menurut
Al-Syabani, ciri-ciri kurikulum pendidikan Islam sebagaimana berikut :
a.
Kurikulum pendidikan Islam mengedepankan dan mengutamakan Agama dan
akhlak dalam berbagai tujuannya. Materi dalam kurikulum pendidikan Islam
haruslah mencerminkan nilai-nilai keIslaman dan bersumber pada Al-Qur’an dan
As-Sunnah, metode pembelajaran yang diterapkan, alat dan teknik dalam kurikulum
pendidikan Islam juga mencerminkan nilai-nilai keAgamaan.[20]
b.
Kandungan dan cakupan kurikulum pendidikan Islam bersifat menyeluruh
yang mencerminkan semangat pemikiran dan ajaran Islam yang bersifat universal
dan menjangkau semua aspek kehidupan, baik intelektual, psikologis, social dan
spiritual.
c.
Kurikulum pendidikan Islam mempunyai keseimbangan yang relative di
dalam muatan keilmuannya baik ilmi-ilmu syariat, ilmu akal dan bahasa serta
seni. Disamping Kurikulum pendidikan Islam
menyeluruh cakupan dan kandungannya, ia juga memperhatikan keseimbangan relative,
disebut keseimbangan relative karena mengakui bahwa tidak ada keseimbangan yang
mutlak pada kurikulum pengajaran.
Keseimbangan kurikulum pendidikan Islam juga
diakui oleh para pendidik muslim pada zaman klasik seperti Al-Faraby yang
memunji keseimbangan kurikulum di negeri Andalusia dimana ia tinggal, Ibnu
Khaldun juga membeikan penilaian terhadap keseimbangan kurikulm di dunia Barat
dan dunia timur.[21]
d.
Kurikulum pendidikan Islam mencakup kesemua materi pelajaran yang
dibutuhkan oleh peserta didik, baik yang bersifat kerelegiusan maupun yang
bersifat keduniaan. Materi keAgamaan digunakan untuk memahami hakikat hubungan
manusia dengan sang pencipta sementara keprofan-dunia digunakan untuk mencukupi
kebutuhan primer dan sekunder manusia dalam hubungannya dengan sesame manusia.[22]
e.
Kurikulum pendidikan Islam terkait dengan minat, bakat dan kemampuan
peserta didik, sehingga murid tidak mempelajari suatu mata pelajaran kecuali ia
merasa senang dengan materi tersebut, kurikulum pendidikan Islam juga
memperhatikan keterkaitan antara lingkungan dengan lembaga pendidikan dan
peserta didik, sehingga penyusunan kurikulum selalu disesuaikan dengan
kebutuhan social masyarakat di wilayah tertentu, dari segi lain pendidikan Islam bersifat
dinamis dan bisa menerima dinamika perubahan bila diperlukan, kurikulum
pendidikan Islam juga mempunyai sifat keserasian antara mata pelajaran,
kandungan, dan kegiatan-kegiatan pembelajaran.[23]
Cirri kurikulum
pendidikan islam tersebut jelas mempunyai perbedaan dengan kurikulum pendidikan
umum, dalam hal ini misalnya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang
mempunyai cirri sebagai brikut :
a.
Menekankan ketercapaian Kompetensi siswa, baik secara individual maupun
klasikal
b. Berorientasi pada hasil
belajar dan keberagaan
c.
Penyampaian dalam pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang
bervariasi
d. Sumber belajar bukan
hanya guru tetapi juga sumber lainnya yang mempunyai unsure edukatif
e.
Penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar dalam upaya
penguasaan atau pencapaian suatu kompetensi.
4. Prinsip
Kurikulum Pendidikan Islam
Dengan melihat ciri-ciri kurikulum pendidikan Islam
di atas, kurikulum pendidikan Islam disusun dengan mengikuti tujuh prinsip
sebagai berikut :
a. Prinsip
pertautan dengan Agama, artinya bahwa semua elemen kurikulum baik aspek tujuan,
materi, alat dan metode dalam pendidikan Islam selalu menyandarkan pada
dasar-dasar ajaran Islam yang tertuang dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits.
b. Prinsip
Universal, universal disini dimaksudkan bahwa tujuan dan cakupan kurikulum
pendidikan Islam harus mencakup semua aspek yang mendatangkan manfaat, baik
bagi peserta didik, baik yang bersifat jasmaniyah maupun rohaniyah. Cakupan isi
kurikulum menyentuh akal dan qalbu
peserta didik. Pendidikan yang dikembangkan sebisanya dikembangkan bukan
pendidikan sekuler, melainkan sebaliknya yaitu pendidikan rasional yang
mempunyai arti mengajarkan materi-metari yang bermanfaat bagi kehidupan akhirat
dan dunia bagi peserta didik. Dengan demikian dalam pendidikan Islam tidak ada
dikotomi antara ilmu umum dan ilmu Agama.[24]
c. Prinsip
keseimbangan antara tujuan yang ingin dicapai suatu lembaga pendidikan dengan
cakupan materi yang akan diberikan kepada peserta didik. Keseimbangan ini
meliputi materi yang bersifat religi-akhirat dan profane-keduniaan dengan
mencegah orientasi sepihak saja.
Hakikat dari prinsip
keseimbangan ini , didasarkan pada firman Allah Swt dalam surat al-Qashas ayat
77.
Artinya : “Dan
carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri
kalian, dan janganlah kamu melupakan kebahagiaanmu dari (kenikmatan) duniawi
dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik
kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sessungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”.
Ayat
tersebut adalah perintah yang bersifat wajib, artinya umat Islam wajib
melaksanakan keseimbangan hidup antara keduniaan dan keakhiratan, kesimbangan
cara berfikir bersifat rasional dan hati nurani. Apabila kita kaitkan dengan
penyusunan kurikulum maka pedoman kurikulum mencerminkan keseimbangan tujuan
pembelajaran dan materi-materi yang diarahkan pada pencapaian keseimbangan
tujuan duniawi dan tujuan ukhrowi.
d. Prinsip
keterkaitan dengan bakat, minat, kemampuan dan kebutuhan pelajar, dengan
lingkungan sekitar baik fisik maupun social. Dengan prinsip ini kurikulum
pendidikan Islam berkeinginan menjaga keaslian peserta didik yang bisa
disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat.
Hal ini selaras dengan
pendapat Jean Peaget tentang
pendidikan, ia mengatakan bahwa pindidikan harus diindividulisasikan dengan menyadari bahwa kemampuan untuk
mengasimilasi akan berbeda dari satu individu dengan individu yang lain,
konsekuensinya materi pendidikan harus memperhatikan pebedaan peserta didik.[25]
e. Prinsip
fleksibelitas, maksdunya kurikulum pendidikan Islam dirancang dan dikembangkan
berdasakan prinsip dinamis dan up to date
terhadap pekembangan dan kebutuhan masyarakat, bangsa dan Negara. Anak
didik yang berkarakte menjadi dambaan bukan hanya sebagai orang tua tetapi juga
menadi kebutuhan bangsa dan Negara mengingat anak merupakan generasi penerus
bangsa yang akan mengemban amanat kepemimpinan di masa yang akan datang. [26]
f. Prinsip
memperhatikan perbedaan individu, peserta didik merupakan pribadi yang unik
dengan keadaan latar belakang social ekonomi dan psikologis yang beraneka
macam, maka penyusunan kurikulum pendidikan Islam haruslah memperhatikan keberAgamaan
latar belakang tersebut demi tercapainya tujuan pendidikan itu sendiri.
g. Prinsip
pertautan antara mata pelajaran dengan aktifitas fisik yang tercakup dalam
kurikulum pendidikan Islam. Petautan ini menjadi urgen dalam rangka
memaksimalkan peran kurikulum sebagai sebuah program dengan tujuan tercapainya
manusia yang berakhlak.[27]
Dari
prinsip-prinsip yang telah disebutkan di atas, al-Syaibani mengatakan bahwa
kurikulum pendidikan Islam merupakan kurikulum yang diilhami oleh nilai dan
ajaran Agama Islam, yang selalu berkomitmen memperhatikan aktifitas manusia
modern. Meskipun dikatakan bahwa kurikulum pendidikan Islam bersifat fleksibel
dengan mengikuti dinamika perubahan zaman, namun tetap dengan memegang teguh
identitas keIslamannya.
Lebih
lanjut, al-Abrasyi memberikan pemahaman tentang kurikulum pendidikan Islam
berdasarkan prinsip-prinsip al-Syaibani dengan menitik beratkan kepada 6 hal,
yaitu :
a. Materi
yang bersifat keAgamaan diberikan kepada peserta didik dengan maksud terbentuknya
jiwa peserta didik yang sempurna dan utama.
b. Materi
keAgamaan mendapatkan prosi yang lebih dibandingkan ilmu yang lain karena
materi ini merupakan sendi pembentukan moral yang luhur
c. Selain
memberikan materi yang bersifat keAgamaan, kurikulum pendidikan Islam juga
menaruh perhatian terhadap materi yang bersifat keduniaan, dengan tujuan
memberikan pengalaman untuk bergaul dengan sesame manusia.
d. Ilmu
pengetahuan yang yang dipelajari dalam Islam memperhatikan prinsip ilmu untuk
ilmu, yang karenannya mempelajari pengetahuan dalam pandangan para pemikir Islam
merupakan suatu kenikmatan.
e. Pendidikan
kejuruan, teknik dan perindutrian diperhatikan dalam pendidikan Islam sebagai
alat pencari penghidupan.
f. Suatu
materi adalah alat dan pembuka untuk mempelajari ilmu-ilmu lain. [28]
Dalam
penilaian Al-Abrasy perbedaan penting antara kurikulum pendidikan Islam denga
kurikulum pendidikan pada umunya adalah bahwa kurikulum pendidikan Islam tujuan
utamanya adalah segi keruhanian, akhlak dan moral keIslaman, sementara pendidikan
umum tujuannya adalah menggapai segi keduniaan dan materi.
Dengan
melihat cirri dan prinsip kurikulum diatas, Abdul Rahman Salih Abdullah
sebagimana dikutib oleh Toto Suharto mengkaalsifikasi domain kurikulum kedalam
3 ranah sebagai berikut :
a. Al-Ulum
al-Diniyah, yaitu ilmu-ilmu keIslaman normative yang menjadi
rujukan bagi segala ilmu yang ada
b. Al-Ulum
al-Insyaniyah yang meliputi ilmu-ilmu social dan
humaniora yang berkaitan dengan manusia dan pergaulannya, seperti sosiologi,
antropologi, psikologi, pendidikan dan lain-lain
c. Al-Ulum
Al-Kauniyah, merupakan ilmu alam dengan prinsip kea
rah kepastian, seperti matematika, fisika, kimia, biologi dan lain-lain.[29]
Dengan ketiga ranah ini
pendidikan Islam secara tegas menolak
dualisme dan sekulerisme kurikulum, sebab dulaisme kurikulum dapat mendatangkan
dua macam bahaya yang pertama ilmu-ilmu keIslaman akan mendapat derajat
yang lebih rendah dibandingkan dengan ilmu keduniaan, kedua lahirnya
integrasi sekulersme yang mengorbankan domain Agama, yang selanjutnya dapat
menstigmakan konsep anti Agama.
Selain
cirri dan prinsip kurikulum sebgaaimana disebutkan di atas Samsul Nizar
memberikan pembagaian asas kurikulum pendidikan Islam sebagaimana berikut :
a. Asas
Agama
Semua system yang ada
dalam masyarakat Islam termasuk system pendidikannya harus meletakkan dasar
falsafah, tujuan, dan kurikulumnya pada ajaran Islam yang meliputi aqidah,
ibadah, muamalat dan hubungan yang berlaku di dalam masyarakat. Hal ini bermakna
bahwa semua itu akhirnya harus mengacu pada dua sumber utama syariat Islam
yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadits. Sementara sumber-sumber lain sepert ijma’,
qiyas, istihsan merupakan penjabaran dari kedua sumber tersbut. Pembentkan
kurikulum pendidikan Islam harus diletakkan pada apa yang telah digarskan oleh
sumber-sumber tersebut dalam rangka menciptakan manusia yang bertaqwa sebagai
hamba dan tegar sebagai khalifah Allah di muka Bumi.
b. Asas
Falsafah
Dasar ini memberikan
arah dan kompas tujuan pendidikan Isam dengan dasar filosofis, sehingga
susuanan kurikulum pendidikan Islam mengandung kebenaran, terutama dar sisi
nilai-nilai sebagai pandangan hidup yang diyakini kebenarannya. Secara umum,
dasar filsafah ini membawa konsekuensi bahwa rumusan kurikulum pendidikan Islam
harus beranjak dari konsep ontology, epistemology, dan aksiologi yang digali
dari pemikiran masnuia muslim, yang sepenuhnya tidak bertentangan dengan
nilai-nilai ajaran Islam.
c. Asas
Psikologis
Asas ini member arti
bahwa kurikulum pendidikan Islam hendaknya disusun dengan mempertimbangkan
tahapan-tahapan pertumbuhan dan perkembangan yang dilalaui anak didik.
Kurikulum pendidikan Islam harus dirancang sejalan dengan cirri-ciri
perkembangan anak didik, tahap kematangan bakat-bakat jasmani, intelektual,
bahasa dan social, kebutuhan dan keinginan, minat, kecakapan, perbedaan
individual dan lain sebagainya yang berhubngan dengan aspek-aspek psikologis.
d. Asas
Sosial
Pembentukan kurikulum
pendidikan Islam harus mengacu kea rah realisasi individu dalam masyarakat.
Pola yang demikian ini berarti bahwa kecenderungan dan perubahan yang telah dan
akan terjadi dalam perkembangan masyarakat manusia sebagai malkhluk social
harus mendapat tempat dalam kurikulum pendidikan Islam. Hal ini dimaksudkan
agar output yang dihasilkan pendidikan Islam adalah manusia-manusia yang mampu
mengambil peran dalam masyarakat dan kebudayaan dalam konteks kehidupan
zamannya.[30]
Keempat asas tersebut
di atas harus dijadikan landasan dalam pembentukan kurikulum pendidikan Islam.
Pelu ditekankan bahwa antara satu asas dengan asas lainnya tidaklah berdiri
sendiri-sendiri, tetapi harus merupakan suatu kesatuan yang utuh sehingga dapat
membentuk kurikulum pendidikan Islam yang terpadu, yaitu kurikulum yang relevan
dengan kebutuhan pengembangan anak didik dalam unsure tauhid, keagamaan,
pengembangan potensinya sebagai khalifah, pengembangan pribadinya sebagai
individu dan pengebangannya dalam kehidupan social.[31]
5. Pandangan
Montessori tentang Kurikulum
Maria Montessori
adalah seorang dokter yang mempunyai pandangan pendidikan yang mengutamakan
kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh peserta didik termasuk kegiatan-kegiatan
harian yang disebut dengan filsafat gerakan Montessori. Pada awalnya
pandangannya mendapatkan sambutan yang hangat dari masyarakat karena seuai
dengan kondisi anak terutama pendidikan anak usia dini, dalam beberapa waktu
mendapat kritikan namun juga mendapat pengaruh kembali.
Filsafat
Monetssori tentang gerakan tubuh menyediakan
alternative yang banyak terhadap dualism kartesian tentang pembedaan
antara pikiran dan badan yang keduanya tidak berkaitan sama sekali, yang
dikemukkan oleh Bapak Filsafat Modern Rene Descartes. Masalah ini kemudian
meningkat dan banyak mendapat perhatian dari para filsuf.
Secara
tradisional gearakan adalah bagian tubuh fisik kita, namun Montessori membuat
terobosan baru dengan mengkategorisasikan ulang gerakan tubuh yang disengaja
sebagai penenagah antara pikiran dan badan. Bahkan penemuan medis baru-baru ini
sangat mendukung teorinya bahwa ada hubungan yang sangat kuat antara pikiran
dan tubuh, sehingga sebuah pikiran yang sakit akan membuat fisik seseorang juga
menjadi sakit.
Dalam pandangan
filsafat Monetssori gerakan memainkan peranan penting dan sebuah pengembangan
gerakan tubuh dapat membentuk keribadian seseorang. Sehingga memberikan
kebebasan bergerak sebagai bentuk nyata kebebasan harus tersedia dalam
hubungannya membangun karakter anakn.
Montessori
menekan pentingnya aktifitas-aktifitas jasmaniyah untuk menunjang karekter
peserta didik melalui aktifitas-aktifitas di luar ruangan kelas seperti out bond, olah raga,
memanah. Maka menurut Montessori hendaknya kurikulum yang akan disusun sebuah
lembaga haruslah mengembangkan materi yang bersifat aktifitas nyata dan tidak
hanya mengerjakan LKS dan buku semata, hal itu dengan tujuan terciptanya
makhluk rasional dan berkarakter.
Filsafat
Monetssori ini juga menjadi landasan penyusunan kurikulum mata pelajaran
Pendidikan Jasmani (Penjas) yang disampaikan mulai usia Paud sampai SMA dan
tida diterapkan pada usia perguruan tinggi. Apabila ditelaah lebih lanjut hal
ini masuk akan sebabab anak usia Paud sampai dengan SMA masih mengalami masa
pertumbuhan fisik. Hal ini menurut Monetssori harus dikelola dengan baik agar gerakan
fisik mempunyai efek yang positif terhadap kesehatan akal dan jiwa.
Sebegitu
urgensinya gerakan fisik bagi peserta didik kemudian muncul istilah Mensana in corpora sanu di dalam tubuh
yang sehat terdapat akal/jiwa yang sehat. Sekali menegaskan akan pentingnya
olah tubuh bagi seseorang sehingga memunculkan kurikulum olah raga pada jenjang
pendidikan dsar sampai atas.
C.
PENUTUP
Dari
uraian diatas dapat disimpulkan bahwa istilah kurikulum yang diadopsi dari
dunia olah raga menjadi terintegrasi dalam dunia penidikan menjadi suatu
program yang direncanakan dan dilaksanakan untuk mencapai sebuah tujuan
pendidikan tertentu. Yang membedakan kurikulum pendidikan Islam dengan
kurikulum pada umumnya terletak pada integrasi nilai-nilai keIslaman pada
aspek-aspek kurikulum, begitu pula prinsip yang menjadi arah pendidikan Islam
juga menonjolkan keterpautan dengan ajaran Islam Al-Qur’an dan Al-hadits,
Montessori berpandangan pentingnya masalah aktifitas belajar untuk menciptakan
karakter siswa.
Daftar
Pustaka
Al-Syaibani,
Omar Mohammad al-Toumy terjemah Hasan Langgulung, Falsafah Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1979
Arifin,
Muzayyin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta:
PT Bumi Aksara, 2010
Arifin,
Zainal, Pengembangan Manajemen Mutu
Kurikulum Pendidikan Islam, Jogjakarta: DIVA Press, 2012
Basri,
Hasan, Filsafat Pendidikan Islam, Bandung
: Pustaka Setia, 2009
Djamarah,
Syaiful Bahri, Psikologi Belajar, Jakarta
: Rineka Cipta, 2011
Hariyati,
Mimin, Model dan Teknik Penilaian pada
Tingkat Satuan Pendidikan, Jakarta : Gaung Persada Press, 2007
Hasibuan,
Lias, Kurikulum dan Pemikiran Pendidikan, Jakarta: Gaung Persada Pers,
2010
Hergegenhan,
B.R. dan Mattew H Olson, Theories of
Learning (Teori Belajar), Jakarta : Kencana, 2010
Hernawan,
Asep Herry dan Riche Cyntia dalam , Kurikulum
dan Pembelajaran, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011
Idi,
Abdulllah, Pengembangan Kurikulum Teori
dan Praktik, Jogjakarata: Ar-Ruzz Media, 2011
Nizar,
Samsul, Filsafat Pendidikan Islam, Pendekatan Historis, Teoritis dan
Praktis, Jakarta : Ciputat Pers, 2002
Muhaimin,
Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, Surabaya: PSAPM, 2004
Ramayulis,
Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta :
Kalam Mulia, 1998
Suharto,
Toto, Filsafat Pendidikan Islam, Jogjakarta:
Ar-Ruz Media, 2011
Syukur,
Fatah, Teknologi Pendidikan, Semarang
: Rasail Media Group, 2008
Tafsir,
Ahmad, Filsafat Pendidikan Islam, Integrasi Jasmani, Rohani, dan Kalbu,
Memanusiakan Manusia, Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2010
Thobroni,
Muhammad dan Arif Mustafa dalam, Belajar
dan Pembelajaran Pengembangan Wacana dan Praktik Pembelajaran Dalam
Pengembangan Nasional, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011
Usman,
Moh. Uzer, Menjadi Guru Profesional, Bandung
: PT Remaja Rosdakarya, 2006
[1]
Fatah Syukur, Teknologi Pendidikan, (Semarang
: Rasail Media Group, 2008), 1.
[2]
Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islam, Integrasi Jasmani, Rohani, dan
Kalbu, Memanusiakan Manusia, (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2010), 99.
[3]
Moh. Uzer Usman, Menjadi Guru
Profesional, (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2006), 145.
[4]
Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan
Islam, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2010), 77.
[5]
Asep Herry Hernawan dan Riche Cyntia dalam , Kurikulum dan Pembelajaran, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2011), 2. Lihat juga Zainal Arifin, Pengembangan
Manajemen Mutu Kurikulum Pendidikan Islam, (Jogjakarta: DIVA Press, 2012),
35. Lihat juga Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Kalam
Mulia, 1998), 61.
[6]
Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, (Jogjakarta:
Ar-Ruz Media, 2011), 125.
[7]
Ibid, 125.
[8]
Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, (Surabaya: PSAPM, 2004),
183.
[9]
Ibid, 183
[10]
Toto Suharto, 126.
[11]
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 1998), 61.
[12]
Abdulllah Idi, Pengembangan Kurikulum
Teori dan Praktik, (Jogjakarata: Ar-Ruzz Media, 2011), 207. Lihat juga
Mimin Hariyati, Model dan Teknik
Penilaian pada Tingkat Satuan Pendidikan, (Jakarta : Gaung Persada Press,
2007), 1.
[13]
Lias Hasibuan, Kurikulum dan Pemikiran Pendidikan, (Jakarta: Gaung
Persada Pers, 2010), 127.
[14]
Syaiful Bahri Djamarah merinci aktifitas belajar meliputi mendengar, memandang,
meraba, membau, mengecap, menulis atau mencatat, membaca, membuat paper,
mengingat, berfkir dan latihan atau gerak. Lihat Psikologi Belajar, (Jakarta : Rineka Cipta, 2011), 38-45
[15]
Ibid, 128.
[16]
Ibid, 129.
[17]
Bisa disitilahkan juga dengan kecakapan hidup (skill) sebagaimana yang
dikatakan M. Thobroni dan Arif Mustafa dalam, Belajar dan Pembelajaran Pengembangan Wacana dan Praktik Pembelajaran
Dalam Pengembangan Nasional, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), 231.
[18]
Lias hasibuan, 129.
[19]
Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, Pendekatan Historis, Teoritis dan
Praktis, (Jakarta : Ciputat Pers, 2002), 61.
[20]
Omar Mohammad al-Toumy Al-Syaibani terjemah Hasan Langgulung, Falsafah Pendidikan Islam, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1979), 490.
[21]
Ibid, 491-498.
[22]
Toto Suharto, 130.
[23]
Omar Mohammad al-Toumy Al-Syaibani, 512-518.
[24] Hasan Basri, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung : Pustaka Setia, 2009),
129-130.
[25]
B.R. Hergegenhan dan Mattew H Olson, Theories
of Learning (Teori Belajar), (Jakarta : Kencana, 2010), 324.
[26]
Hasan basri, 130.
[27]
Toto Suharto, 131.
[28]
Toto Suharto, 131-132.
[29]
Toto Suharto, 132-133.
[30][30]
Samsul Nizar, 29-30.
[31]
Samsul Nizar, 31.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar