FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM
I. PENDAHULUAN
Mempelajari Filsafat Pendidikan Islam berarti memasuki arena pemikiran
yang mendasar, sistematis, logis dan menyeluruh tentang pendidikan, yang tidak
hanya dilatarbelakangi oleh ilmu pengetahuan Agama Islam saja, melainkan
menuntuk kepada kita untuk mempelajari ilmu-ilmu lain yang relevan. Pemikiran
falsafiyah pada hakikatnya adalah suaha menggerakkan semua potensi psikologis
manusia seperti pikiran, kecerdasan, kemauan, perasaaan, ingatan serta
pengamtan panca indra tentang gejala kehidupan terutama manusia dan alam
sekitarnya sebagai ciptaan Tuhan. Proses pemikiran tersebut didasari
teori-teoiri pelbagai disiplin ilmu dan pengalaman yang mendalam tentang
kehidupan alam raya dan dalam dirinya sendiri.
Filsafat Pendidikan Islam secara umum akaj mengkaji berbagai masalah yang
terdapat dalam bidang pendidikan, ulai
dari manusia yang akan dididik, tujuan pendidikan, guru, anak didik,
kuriukulum, dan metode sampai dengan evaluasi dalam pendidikan secara filosofis.
Dengan kata lain, ilmu ini akan mencoba mepergunakan jasa pemikiran filosof,
yaitu pemikiran yang sistematis, logis, radikal, universal dan objektif
terhadap berbagai masalah yang terdapat dalam pendidikan itu sendiri. Masih
banyak pakar pendidikan muslim yang belum memperbuatkan pemikirannya. Para
filosof muslim seperti al-Ghazali, ibn Khaldun, Ikhwan Mustafa yang demikian
pula di Indonesia .
Mereka banyak menghasilkan pemikiran kependidikan Islam dan telah teruji
kemampuannya. Inilah salah satu tugas kita, terutama mereka yang mempunyai perhatian
tinggi terhadap kemajuan pendidikan Islam. Sayangnya konsep dan pamikiran itu
dimannfaatkan oleh orang lain, yang bisa jadi akan menghambat kemajuan dan
pengembangan dunia Pendidikan Islam itu sendiri baik dalam segi materi maupun
moral.
II. PENGERTIAN
PENDIDIKAN ISLAM
Menurut Drs. Ahmad D. Marimba, pendidikan islam adalah bimbingan jasmani,
rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju terbentuknya kepribadian
utama menurut ukuran Islam. Dengan pengertian lain, seringkali beliau
mengatakan bahwa kepribadian utama tersebut dengan istilah kepribadian muslim, yakni kepribadian yang memiliki nilai-niali
agama Islam, emmilih dan memutuskan serta berbuat berdasarkan nilai-nilai
Islam, dan bertanggung jawab sesuai dengan nilai-nilai Islam
Menurut Abdur Tahman Nahlawi, pendidikan Islam adalah pengaturan pribadi
dan masyarakat sehingga dapat memeluk agama Islam secara logis dan sesuai
secara keseluruhan baik dalam kehidupan individu maupun kelompok.
Sedangkan menurut Drs. Burlian Shamad, pendidikan Islam ialah pendidikan
yang bertujuan membentuk individu menjadi makhluk yang bercorak diri derajat
tinggi menurut ukuran Allah dan sisi pendidikannya untuk mewujudkan pendidikan
itu baru dapat disebut pendidikan Islam apabila memiliki dua ciri khas (1) Tujuan
untuk memmbentuk individu yang bercorak diri tertinggi menurut al-Quran; (2)
Isi pendidikannya adalah ajaran Allah yang tercantum di dalam al-Quran, dan
pelaksanaannya merujuk pada kehidupoan keseharian Nabi Muhammad SAW[1].
Dari uraian di atas dapat diambil
kesimulan bahwa para ahli pendidik Islam berbeda pendapat mengenai rumusan
pendidikan Islam. Ada yang menitikberatkan pada segi pembentukan akhlak, ada
pula yang menuntut pendidikan teori dan praktek, dans ebagian lagi menghendaki
terwujudnya kepribadian msulim dan lain-lain. Perbedaan tersebut terjadi
diakibatkan oleh hal yang pentingnya dari masing-masing ahli. Namun dari
perbedaan pendapat tersebut terdapat titik kesamaan yang secara ringkas dapat
disimpulkan sebagai Pendidikan Islam ialah bimbingan yang dilakukan oleh
seorang dewasa kepada terdidik dalam masa pertumbuhan agar ia memiliki
kepribadian muslim.
Oleh karena itu, pendidikan
Islam merupakan sekaligus pendidikan amal. Dan karena ajaran Islam berisi
tentang ajaran sikap dan tingkah laku pribadi masyarakat menuju kesejahteraan
hidup perorangan dan bersama, maka orang pertama yang bertugas mendidik
masyarakat adalah para nabi dan Rasul, selanjutnya para Ulama dan cendikiawan
sebagai penerus tugas dan kewajiban mereka.
III. PENGERTIAN FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM DAN
TUJUANNYA
Sebagaimana diketauhi bahwa
manusia adalah khalifah di alam ini. Mendapat wewenang untuk melaksanakan
tugasnya yaitu mengelola dan memelihara untuk kepentingan manusia itu sendiri.
Dengan demikian, pendidikan merupakan urusan hidup dan kehidupan manusia, dan sekaligusmerupakan
tanggung jawab manusia itu sendiri.
Filsafat Pendidikan Islam pada
hakikatnya adalah konsep berpikir tentang kependidikan yang bersumberkan ajaran
Islam tentang hakikat kemampuan manusia untuk dapat dibina dan dikembangkan
serta dibimbing menjadi manusia muslim yang seluruh pribadinya dijiwai oleh
ajaran Islam sebagai hamba Allah[2].
Untuk mendidik pertama-tasma
manusia harus memahami dirinya sendiri. Apa hakikat hadup, tujuan dan apa pula
tugas hidupnya. Berikutnya manusia berhadapan dengan alam dan lingkungannya.
Manusia hidup bersama dengan hasil cipta rasa dan karsanya. Semuanya terus
berkembang sehingga nilai kehidupan berubah. Di sinilah manusia dituntut untuk
mengikuti perkembangan dan jangan sampai tertinggal, pendidikan menjadi pilihan
yang tidak dapat ditolak.
Pertanyaan-pertanyaan tentang
berbagai masalah hidup dan kehidupan manusia sebagaimana dikemukakan di atas memang
merupakan tantangan bagi manusia untuk menjawab. Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan
hakiki tersebut, akan menjadi dasar pelaksanaan dan praktek pendidikan.
Ketetapan jawaban pertanyaan-pertanyaan tersebut akan mampu merumuskan tujuan
pendidikan secara tepat, dan hal ini akan mengarahkan usaha-usaha kependidikan
yang tepat pula. Di sinilahletak peranan filsafat pendidikan.
Perkembangan (pemikiran)
fisafat dalam dunai Islam, telah menghasilkan berbagai macam alternatif jawaban
terhadaap berbagai macam pertanyaan hakiki problema hidup dan kehidupan
manusia. Pertanyaan tentang hubungan manusia dengan Tuhan, tentang keyakinan
dan kepercayaan hidup, telah memunculkan Ilmu
Kalam. Pertanyaan tentang kembali kepada Tuhan, menghasilkan Imu Tasawwuf. Pertanyaan bagaimana
melaksanakan ibadah dan syariat engan benar baik ilmu fiqh.
Ilmu-ilmu tersebut berhasil
dikembangkan dalam dunia Islam, dengan menggunakan metode yang khas Islami,
yaitu metode ijtihad. Ijtihad adalah
menggunakan segenap daya akal dan potensi manusiawi lainnya untuk mencari
kebenaran dan dan mengambil kebijaksanaan dengan bimbingan al-Quran dan Sunnah
Nabi SAW. Musthafa Abdul al-Raziq menyatakan bahwa ijtihad dengan menggunakan
daya kemampuan akal merupakan dasar dari terbentuknya pola pikir rasional[3].
Metode ijtihad sebagai metode
khas filsafat Islam memang telah mengalamu perkembangan dan para ulama serta
filosof Islam menggunakannya secara bervariasi. Dengan demikian filsafat Islam
dapat diartikan sebagai studi tentang pandangan filosofos dari sistem dan
aliran filsafat dalam Islam terhadap maslaah-masalah kependidikan dan bagaimanapengaruhnya
terhadap pertumbuhan dan perkembangan manusia muslim dan umat Islam.
IV. RUANG LINGKUP FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM
Jika diamati secara seksama,
penjelasan mengenai ruang lingkup filsafat pendidikan Islam telah diakui
sebagai sebuah disiplin ilmu. Hal ini dapat dilihat dari adanya beberapa sumber
bacaan, khususnya buku yang menginformasikan hasil penelitian tentang filsafat
pendidikan Islam. Sebagai sebuah disiplin ilmu, mau tidak mau filsafat
pendidikan Islam harus menunjukkan dengan jelas mengenai bidang kajiannya atau
cakupan pembahasannya.
Dalam hubungannya dengan hal
di atas, kembali dijumpai pendapat Muzayyin Arifin yang menyatakan bahwa
mempelajari filsafat pendidikan Islam berarti memasuki arena pemikiran yang
mendasar, sistematik, logis, dan menyeluruh (universal) tentang pendidikan,
yang tidak hanya dilatarbelakangi oleh pengetahuan agama Islam saja, melainkan
menuntut kita untuk mempelajari ilmu-ilmu yang lain[4].
Pendapat ini memeberi petunjuk bahwa ruang lingkup filsafat pendidikan islamadalah
masalah-masalah yang terdapat dalam kegiatan pendidikan, seperti masalah tujuan
pendidikan, guru, kurikulum, metode dan lingkungan. Bagaimanakah semua masalah
tersebut disusun, tentu saja harus ada pemikiran yang melatarbelakangi.
Pemikiran yang melatarbelakanginya disebut filsafat pendidikan Islam. Karena
itu dalam mengkaji filsafat pendidikan islam seseorang akan diajak untuk
memahami konsep tujuan pendidikan, konsep guru yang baik, konsep kurikulum dan
seterusnya yang dilakukan secara mendalam, sistematik, logis, radikal dan
universal berdasarkan tuntunan ajaran islam, khususnya berdasarkan al-Quran dan
al-Hadits. Dalam hubungan ini, seseorang yang mengkaji filsafat dan pendidikan
pada umumnya, juga perlu menguasai secara mendalam kanudngan al-Quran dan
al-hadits dalam hubungannya dengan membangun pemikiran filsafat pendidikan
Islam. Dengan kata lain seorang pemikir filsafat pendidikan islam adalah orang
yang menguasai dan manyukai filsafat dan pendidikan secara mendalam, juga
sekaligus harus berjiwa Islami[5].
Dengan demikian, secara umum
ruang lingkup pembahasan filsafat pendidikan islam ini adalah pemikiran yang
serba mendalam, mendasar, sistematis, terpadu, logis dan universal mengenai
konsep-konsep yang berkaitan dengan pendidikan atas dasar ajaran Islam.
Konsep-konsep tersebut mulai dari perumusan tujuan pendidkan, kurikulum, guru,
metode, lingkungan dan seterusnya.
Secara umum pendidikan dapat
diartikan sebagai usaha manusia utuk membina kepribadiannya sesuai dengan
nilai-nilai di dalam masyarakat dan kebudayaan. Dengan demikian bagaimanapun
sederhananya peradaban masyarakat, di dalamnya terjadi atau berlangsung suatu
proses pendidikan. Oleh karen itu sering dinyatakan bahwa pendidikan telah ada
sepanjang peradaban umat manusia. Pendidikan pada hakikatnya merupakan usaha
manusia untuk melestarikan kehidupannya[6].
Dalam buku Modern Philosophies of Education (Fourth
Edition), John S. Brubacher mengemukakan bahwa pendidikan sebagai proses timbal
balik dari tiap pribadi mansia dalam penyesuaian dirinya dengan alam, dengan
sesama, dan sengan alam semesta. Pendidikan juga merupakan perkembangan yang
terorganisasi dan kelengkapan dari semua potensi manusia, moral, intelektual
dan fisik, oleh dan untuk kepribadian individunya dan kegunaan masyarakatnya yang
diharapkan demi menghimpun semua aktivitas tersebut bagi tujujan hidupnya
(tujuan akhir). Pendidikan adalah proses di mana potensi-potensi manusia yang
mudah dipengaruhi oleh kebiasaan-kebiasaan agar disempurnakan oleh
kebiasaan-kebiasaan yang baik, oleh alat/media yang disusun sedemikian rupa dan
dokelola oleh manusia untuk menolong orang lain atau dirinya sendiri dalam
mencapai tujuan yang ditetapkan[7].
Dalam hal ini tim dosen FIP
IKIP Malang menyimpulkan pengertian pendidikan adalah:
- Aktivitas
dan usaha manusia untuk meningkatkan kepribadiannya dengan membina
potensi-potensi pribadinya, rohani dengan jasmani.
- Lembaga
yang bertanggung jawab menetapkan cita-cita pendidikan, isi, sistem dan
oraganisasi pendidikan. Lembaga-lembaga pendidikan ini meliputi: keluarga,
sekolah dan masyarakat (negara).
- Hasil
atau prestasi yang dicapai oleh perkembangan manusia dan usaha
lembaga-lembaga tersebut dalam mencapai tujuannya. Pendidikan dalam arti
ini merupakan tingkat kemajuan masyarakat dan kebudayaan sebagai satu kesatuan[8].
Dari rumusan di atas terlihat
keumuman pengertian pendidikan. Pembentukan pribadi misalnya. Demikian juga
perkembangan manusia yang dikehendaki keterpaduannya dengan kemajuan masyarakat
dan hasil budaya, belum menunjukkan adanya kualifikasi tertentu.
Untuk itu kualifikasi Islam
untuk pendidikan memberikan kejelasan bentuk konseptualnya. Pembentukan
kepribadian yang dimaksudkan sebagai hasil pendidikan adalah kepribadian
muslim, dan kemajuan masyarakan dan budaya belum menunjukkan adanya kualifikasi
tertentu.
Bagi manusia, pemenuihan
kebutuhan jasmani saja belumlah cukup. Tetapi kebutuhan rohani bagi manusia
menjadi sangat penting karena tdak terpenuhinya itu akan menimbulkan
kegelisahan batin. salah satu usahanya adalah dengan mngemalkan agama.
Jadi agama merupakan dasar
utama dalam mendidik melalui sarana –sarana pendidikan. Kemudian dapat
dikatakan bahwa pendidikan Islam adalah usaha yang diarahkan kepada pembentukan
kepribadian anak yangs esuai dengan ajaran Islam, memikirkan, memutuskan, dan
berbuat berdasarkan nilai-nilai Islam serta bertanggung jawab sesuai dengan
nilai-nilai Islam.
V. METODE FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM
Terdapat
dua corak filsafat pendidikan Islam yaitu bercorak tradisional dan kritis. Pada
filsafat pendidikan Islam yang bercorak tradisional, tentunya tidak bisa
dipisahkan dengan aliran mazhab filsafat yang pernah berkembang di dunia Islam.
Sedangkan pada filsafat yang bercorak kritis, maka dalam hal ini di samping
menggunakan metode-metode filsafat pendidikan islam sebagaimana yang telah
berkembang dalam dunia Islam, juga menggunakan metode filsafat pendidikan yang
berkembang dalam dunia filsafat secara umum, diantaranya:
- Metode spekulatif dan kontemplatif yang merupakan metode utama dalam
setiap cabang filsafat. Dalam sistem filsafat islam disebut dengan tafakkur. Baik kontemplatif maupun
tafakkur, adalah berpikir secara mendalam dan dalam situasi yang tenang,
sunyi, utnuk mendapatkan kebenaran tentang hakikat sesuatu yang
dipikirkan. Dan oleh karenanya berkaitan dengan masalah-masalah yang
abstrak misalnya, hakikat hidup menurut Islam, hakikat Iman, Islam, sifat
Tuhan, takdir, malaikat dan sebagianya[9].
- Pendekatan Normatif. Norma, artinya nilai, juga berarti
aturan atau hukum-hukum. Norma menunjukkan keteraturan suatu sistem. Nilai
juga menunjukkan baik buruk, berguna tidak bergunanya sesuatu. norma juga
akan menunjukkan arah gerak suatu aktivitas.
Menurut filsafat Islam, sumber
nilai adalah Tuhan dan semua bentuk norma akan mengarahkan manusia kepada
Islam. Pendekatan normatif dimaksudkan adalah mencari dan menetapkan
aturan-aturan dalam kehidupan nyata, dalam filsafat Islam bisa disebut sebagai
pendekatan syar’iyyah, yaitu mencari ketentuan dan menetapkan ketentuan tentang
apa yang boleh dan tidak boleh menurut syariat Islam. Objeknya adalah berkaitan
dengan tingkah laku dan amal perbuatan
metode ijtihad dalam fiqh seperti istihsan,
maslahah mursalah, al’adah muhakkamah adalah merupakan contoh-contoh metode
normatif ini dalam sistem filsafat Islam[10].
- Pendekatan Ilmiah terhadap masalah aktual, yang pada
hakikatnya menrupakan pengembangan dan penyempurnaan dari pola berpikir
rasional, empiris dan eksperimental yang telah berkembang pada masa
janyanya filsafat dalam Islam. Pendekatan ini tidak lain ada;ah merupakan
realisasi dari ayat al-Quran yang artinya:
”Allah tidak akan mengubah
nasib suatu kaum, sehingga kaum itu sendiri yang berusaha untuk mengubahnya
(Q.S. al-Ra’d:11)”
VI. TUJUAN PENDIDIKAN
MENURUT ISLAM
1. Tujuan Umum
Tujuan umum ialah tujuan yang
akan dicapai dengan semua kegiatan pendidikan, baik dengan pengajaran atau
dengan cara yang lainnnya. Tujuan ini meliputi seluruh aspek kemanusiaan,
seperti sikap.
2. Tujuan Akhir
Pendidikan Islam berlangsung
selama hidup maka tujuan akhirnya terdapat pada waktu hidup di dunia ini telah
berakhir. Tujuan umum yang berbentuk insan
kamil dangan pola taqwa dapat
mengalami perubahan naik-turun dalam perjalanan hidup seseorang. Perasaan,
lingkungan dan pengalaman dapat mempengaruhinya[11].
3. Tujuan Sementara
Tujuan sementara ialah tujuan
yang akan dicapai setelah anak didik diberi sejumlah pengelaman tertentu yang
direncanakan dalam suatu kurikulum pendidikan formal. Tujuan opersional dalam bentuk tujuan instruksional yang
dikembangkan menjadi tujuan instruksional.
4. Tujuan Operasional
Tujuan operasional ialah
tujuan praktis yang dicapai melalui sejumlah kegiatan pendidikan tertentu. Satu
unit kegiatan pendidikan dengan bahan-bahan yang sudah disiapkan dan
diperkirakan akan mencapai tujuan operasional. Dalam pendidikan formal, tujuan
operasional ini disebut juga tujuan instruksional yang selanjutnya dikembangkan
menjadi Tujuan Instruksional Umum dan
Tujuan Instruskional Khusus (TIU dan
TIK). Tujuan instruksional ini merupakan tujuan pengajaran yang direncakan
dalam unit kegiatan pengajaran[12].
Bila pendidikan kita pandang
sebagai suatu proses, maka proses tersebut akan berakhir pada tercapainya
tujuan akhir pendidikan. Suatu tujuan yang hendak dicapai oleh pendidikan dan
hakikatnya adalah suatu perwujudan dari nilai-nilai ideal yang terbentuk dalam pribadi mansuia
yang diinginkan.
Nilai-nilai ideal itu
mempengaruhi dan mewarnai pola kepribadian manusia, sehingga menggejala dalam
perilaku lahitiahnya. Dengan kata lain perilaku adalah cermin yang
memproyeksikan nilai-nilkai ideal yang telah mengacu di dalam manusia sebagai
produk dari proses pendidikan.
Jadi tujuan pendidikan Islam
berarti menuju dan mencari nilai-nilai ideal yang bercorak Islami. Hal ini
mengangdung makna bahwa tujuan pendidikan Islam tidak lain adalah tujuan yang
merealisasi identitas Islami. Sedang idealaitas Islami itu sendiri pada
hakikatnya adalah mengandung nilai perilaku manusia yang didasari atau dijiwai
oleh iman dan taqwa kedapa Allah sebagai sumber kekuasaan mutlak yang harus
ditaati.
Dimensi-dimensi nilai di atas
merupakan sasaran idealitas Islami yang seharusnya dijadikan dasar fundamental
dalam proses kependidikan Islam. Dimens-dimensi nilai tersebut seharusnya
ditanam-tumbuhkan di dalam pribadi muslim secara utuh memalui proses
pembudayaan yang bercorak paedagosis, dengan sistem atau struktur kependidikan
yang bagaimanapun ragamnya.
Pendidikan Isllam bertugas
mempertahankan, menanamkan, mengembangkan kelangsungan berfungsinya nilai-nilai
Islam yang bersumber dari kitab suci al-Quran dan Hadits. Serta sejalan dengan
tuntutan kemajuan modernisasi kehidupan masyarakat akibat pengaruh kebudayaan
yang meningkat, pendidikan Silam memberikan kelenturan (fleksibilitas)
perkembangan nilai-niali dalam runag lingkup konfigurasinya.
6.1. HAKIKAT PENDIDIK
I. Tugas
Pendidik
Pendidik adalah orang dewasa
yang bertanggung jawab memberi bimbingan atau bantuan kepada anak didik dalam
perkembangan jasmani an rohaninya agar mencapai kedewasaanya, mampu
melaksanakan tugasnya sebagai makhluk Allah, khalifah di permukaan bumi,
sebagai makhluk sosial dan individu yang sanggup berdiri sendiri[13].
Sebenarnya orang pertama yang
bertanggung jawab terhadap perkembangan anak atau pendidikan anak adalah orang
tuanya, karena adanya pertalian darah dan masa depan anaknya di dunia maupun
akhirat.
Karena itu orang tua disebut
juga sebagai pendidik kodrat. Karena
orang tua tidak mempunyai kemampuan, waktu dan sebagainya, maka mereka
menyerahkan sebagian tanggung jawabnya kepada orang lain yang berkompeten untuk
mendidik. Dalam hal ini guru. Lembaga pendidikan di sinilah pendidik itu
membimbing atau memberikan pertolongan sebagaimana disebutkan dalam definisi
pendidikan.
Sebagaimana telah disinggung
di atas mengenai pengertian pendidik, dapat diperjelas bahwa tugas pendidik
yaitu:
a. Membimbing si
terdidik
Mencari pengenalan terhadapnya
mengenai kebutuhan, kesanggupan, bakat minat dan sebagainya.
b. Menciptakan situasi
untuk pendidikan
Situasi pendidikan, yaitu
suatu keadaan di aman tindakan-tindakan pendidikan dapat berlangsung dengan
baik dan dengan hasil yang memuaskan.
Tugas lain ialah memiliki
pengatahuan yang diperlukan, pengetahuan-pengetahuan keagamaan, dan lain-lain.
Pengetahuan ini tidak sekedar diketahui, namum juga diterapkan dan diyakini
sendiri. Ingatlah bahwa kedudkan pendidik adalah pihak yang lebih dalam situasi pendidikan. Harus
pula diingat bahwa pendidikan adalah manusia dengan segala sifatnya yang tidak
sempurnya. Oleh karena itu si pendidik harus selalu menunjau diri sendiri. Dari
reaksi si anak, dari hasil usaha pendidikan, pendidik dapat memperoleh
bahan-bahan kesamaan dari pihak di terdidik. Kecaman yang membangun pun besar
sekali nilainya[14].
6.2. FILOSOFIS KURIKULUM
Secara harfiah kurikulum
berasal dari bahasa latin, curriculum
yang berarti pengajaran. Ada pula yang mengatakan kata tersebut berasal dari
bahasa Perancis courier yang berarti
berlari[15].
Ada pula yang berpendapat
bahwa kurikulum adalah sejumlah mata pelajaran yang disiapkan berdasarkan
rancangan yang sistematik dan koordinatif dalam rangka mencapai tujuan
pendidikan yang ditetapkan.
Dari beberapa pendapat
tersebut dapat diketahi bahwa kuurikulum pada hakikatnya adalah rancangan mata
pelajaran bagi suatu kegiatan jenjang pendidikan tertentu dan dengan
menguasainya seseorang dapat dinyatakan lulus dan berhak memperoleh ijazah.
Sementara pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan
dan kemajuan dunia pendidikan, definisi kurikulum disebutkan di atas dipandang
sudah ketinggalan zaman. Kurikulum bukan hanya sekedar memuat sejumlah mata
pelajaran, akan tetapi termasuk segala usaha sekolah untuk mencapai tujuan yang
diinginkan baik di dalam maupun di luar lingkungan sekolah.
Pengertian kurikulum yang disebut terakhir itu
sejalan pula dengan pendapat Hasan Langgulung . Meurutnyam kurikulum adalah
sejumlah pengalaman pendidikan, kebudayaan, sosial dan olahraga serta kesenian
baik yang berada di dalam atau di luar kelas yang dikelola oleh sekolah[16].
Pendapat yang terakhir
mengenai kurikulum iniberbeda dengan pendapat-pendapat yang dikemukakan
sebelumnya. Perbedaan tersebut nampat terlihat dari segi sumber pelajaran yang
dimuat dalam kurikulum. Jika sebelumnya hanya terbatas pada kegiatan pengajaran
yang dilakukan diruang kelas, maka pada perkembangan berikutnya pendidikna dapat pula memanfaatkan berbagai sumber pengajaran
yang ada di luar kelas. Dengan cara seperti ini para siswa dapat terus
mengikuti perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, kebudayaan dan
lainnya yang terjadi di luar lingkungan sekolah.
6.2.1. Cakupan Kurikulum
Cakupan
bahan pengajaran yang terdapat dalam kurikulum modern nampak semakin luas.
Disebabkan adanya tugas-tugas yang semula menjadi bebar badan-badan lain, kini
dibebankan kepada sekolah.
Berdasarakn
pada tuntutan perkembangan yang demikian itu, maka para perancang kurikulum
dewasa ini menetapkan kurikulum yang meliputi empat bagian. Pertama bagian yang
berkenaan dengan tujuan-tujuan yang ingin dicapai dalam proses
belajar-mengajar. Kedua, bagian yang berisi pengetahuan, informasi, data, aktivitas,
dan pengalaman yang merupakan bahan bagi penyusunan kurikulum yang isinya berupa
mata pelajaran yang kemudian dimasukkan ke dalam silabus pengajaran. Ketiga,
bagian yang berisi metode atau cara menyampaikan mata pelajaran tersebut.
Keempat, bagian yang berisi metode atau cara melakukan penilaian dan pengukuran
atas hasil pengajaran mata pelajaran tertentu[17].
6.2.2. Asas-Asas Kurikulum
Selain itu secara teoritis
filosofis sebuah kurikulum harus berdasrakan asas-asas dan orientasi tertentu.
Asas-asas tersebut sebagaimana dikemukakakn S. Nasution meliputi asas
filosofis, organisatoris dan psikologis. Asas folosofis berperan sebagai
penentu tujuan umum pendidikan. Sedangkan asas sosiologis berperan memberikan
dasar untuk menentukan apa saja yang akan dipelajari sesuai dengan kebutuhan
masyarakat, kebudayaan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; dan asas
organistorisberfungsi memberikan dasar-dasar dalam bentuk bagimana bahan
pelajaran itu disusun dan bagaimana penentuan luas dan urutan mata pelajaran[18].
6.2.3. Ciri-Ciri Kurikulum Dalam Pendidikan Islam
Omar Muhammad al-Toumy
al-Syaibany menyebutkan lima cari kurikulum pendidikan Islam.
1.
Menonjolkan tujuan agama dan akhlak pada berbagai
tujuannya dan kandungnyanya, metode, alat dan teknikny yang bercorak agama.
2.
Meluas cakupannya dan menyeluruh kandungannya.
Yaiytu kurikulum yang benar-benar mencerminkan semangat, pemikiran dan
ajarannya yang menyeluruh. Di samping itu juga luas dalam perhatiannya. Ia
memperhatikan pengembangan dan bimbingan terhadap segala aspek pribadi pelajar
dari segi intelektual, psikologis, sosial dan spiritual.
3.
Bersikap seimbang di antara berbagai ilmu yang
dikandung dalam kurikulum yang akan digunakan. Selai itu juga seimbang antara
pengetahuan yang berguna bagi pengembangan individual dan sosial.
4. Bersikap menyeluruh
dalam mentana seluruh mata pelajaran yang diperlukan anak didik.
5. Kurikulum yang
disusun selalu disesuaikan dengan minat dan bakat anak didik[19].
VII. TOKOH-TOKOH PENDIDIKAN ISLAM
7.1. Konsep Pendidikan Al-Ghazali
Nama lengkapnya adalah Abu
Hamid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazali dilahirkan di Thus, sebuah kota di
Khurasan, Persia pada tahun 450 H atau 1058 M.
Imam Ghazali sejak kecilnya dikenal sebagai
seorang anak pecinta ilmu pengetahuan dan penggandrung mencari kebenaran yang
hakiki[20].
Untuk mengetahui konsep
pendidikan al-Ghazali ini dapat diketahui antara lain dengan cara mengetahui
dan memahami pemikirannya yang berkenaan dengan berbagai aspek yang berkaitan
dengan pendidikan, yaitu aspek tujuan pendidikan, kurikulum, metode, etika guru
dan etika murid.
- Tujuan Pendidikan
Rumusan tujuan pendidikan pada
hakikatnya merupakan rumusan filsafat atau pemikiran yang mendalam tentang
pendidikan. Seseorang baru dapat merumuska suatu tujuan kegiatan jika ia
memahami secara benar filsafat yang mendasarinya. Rumusan tujuan ini
selanjutnya akan menentukan aspek kurikulum, metode, guru dan lainnya yang
berkaitan dengan pendidikan. dari hasil studi terhadap pemikiran al-Ghazali
dapat diketahui dengan jelas, bahwa tujuan akhir yang ingin dicapai melalui
kegiatan pendidikan ada dua. Pertama,
tercapainya kesempurnaan insani yang bermuara pada pendekatan diri kepada
Allah, dan kedua, kesempurnaan insani
yang bermuara pada kebahagiaan dunia akhirat[21].
Karena itu ia bercita-cita mengajarkan manusia agar mereka sampai pada
sasaran-sasaran yang meruapakn tujuan akhir dan maksud pendidikan itu. Tujuan
ini tampak bernuansa religius dan moral, tanpa mengabaikan masalah duniawi[22].
- Kurikulum
Konsep kurikulum yang
dikemukakan al-Ghazali terkait erat dengan konsepnya mengenai ilmu pengetahuan.
Dlam pandangan al-Ghazali ilmu terbagi menjadi tiga bagian, sebagai berikut.
Pertama, ilmu-ilmu
yang terkutuk baik sedikit maupun banyak, yaitu ilmu-ilmu yang tidak ada
manfaatnya, baik di dunia maupun di akhirat, speerti ilmu sihir, nujum dan
ramalan. Kedua, ilmu-ilmu yang
terpiju baik sedikit maupun banyak, yaitu ilmu yang erat kaitannya dengan
peribadatan dan macam-macamnya, seperti ilmu yang berkaitan dengan kebersihan
diri dari cacat dan dosa serta ilmu yangd apat menjadi bekal bagi seseorang
untuk mengethui yang baik dan melaksanakannya, ilmu-ilmu yang mengajarkan
manusia tentang cara-cara mendekatkan diri kepada Allah dan melakukan sesuatu
yang diridhai-Nya, serta dapat membekali hidupnya di akhirat. Ketiga, ilmu-ilmu yang terpuji dalam
kadar tertentu, atau sedikit, dan tercela jika dipelajari secara mendalam,
karena dengan mendalaminyadapat terjadinya kekacauan dan kesemrawutan antara
keyakinan dan keraguan, serta dapat pula membawa kepada kekafiran, speerti ilmu
filsafat. Mengenai ilmu filsafat dibagi oleh al-Ghazali menjadi ilmu matematika,
logika, ilahiyat, fisika, politik dan etika[23].
Sampai di sini tampaklah oleh
kita bagaimana al-Ghazali membagi ilmu-ilmu yang bermacam-macam itu serta
menetapkan nilainya masing-masingsesuai dengan manfaat dan mudharatnya. ia
yakin bahwa ilmu dengan segala macamnya itu, baik ilmu aqliyah maupun ilmu
amaliyah, tidak sama nilainya, dan karena itu pula keutamaannya berbeda.
7.2. Pemikiran Al-Mawardi Dalam Bidang
Pendidikan
Nama lengkapnya adalah Abu
al-Hasan Ali ibn Muhamamd ibn Habib al-Basry. ia dilahirkan di Basrah pada
tahun 346 H. Bertepatan dengan tahun 974 M. dan wafat di Baghdad pada tahun 450
H atau 1058 M[24].
Pemikiran al-Mawardi dalam
bidang pendidikan sebagian besar terkonsentrasi pada masalah etika hubungan
guru dan murid dalam proses belajar-mengajar. Pemikiran ini dapat dipahami,
karena dari seluruh aspek pendidikan, guru memegang peranan amat penting,
bahkan berada pada garda terdepan. Keberhasilan pendidikan sebagian besar
tergantung kepada kualitas guru baik dari segi penguasaannya terhadap materi
pelajaran yang diajarkan maupun cara menyampaikan pe;ajaran tersebut serta
kepribadiannya yang baik, yaitu pribadi yang terpadu antara ucapan dan
perbuatannya secara harmonis[25].
Menurut Mawardi sikap tawaddhu
akan menimbulkan simpatik dari pada anak didik, sedangkan sikap ujub akan
menyebabkan guru kurang disenangi. Sikap tawaddhu yang dimaksudkan al-Mawardi
bukanlah sikap menghinakan diri sendiri atau merendahkan diri ketika berhadapan
denga orang lain. Sikap yang dimaksud adalah sikap rendah hati dan merasa
sederajat dengan orang lain san saling menghargai. Sikap demikian akan
menumbuhkan rasa persamaan, menghormati orang lain, toleransi serta sara
senasib dan cinta keadilan[26].
Pada perkembangan berikutnya
sikap tawaddhu tersebut akan menyebabkan guru bersikap demokratis dalam
menghadapi murid-muridnya. Sikap demokratis ini mengandung makna bahwa gur
berusaha mengembangkan individu seoptimal mungkin. Guru tersebut menempatkan
peranannya sebagai pemimpin dan pembimbing dalam proses belajar-mengajar yang
berlangsung dengan utuh dan luwes, di mana seluruh siswa terlibat di dalamnya.
Selanjutnya al-Mawardi
mengatakan bahwa seorang guru selain harus bersikap tawaddhu, juga harus
bersikap ikhlas[27].
Pernyataan tersebur
memperlihatkan dengan jelas bahwa al-Mawardi menghendaki agar soerang guru
benar-benar ikhlas dalam melaksanakan tugasnya. Menurutnya baahwa tuga mendidik
dan mengajar harus diorientasikan kepada tujuan yang luhur, yakni keridhaan dan
pahala Allah.
7.3. Konsep Pendidikan Ibnu Sina
Nama lengkapnya adalah Abu Ali
Husayn ibn Abdullah di dunia barat lebih dikenal dengan nama Avisena.
Penyebutan nama tersebut menimbulkan perbedaan pendapat di klangan ahli sejrah,
ada yang mengatakan bahwa nama tersebut berasal dari bahasa latin yaitu Aven Sina, dan ad juga yang berpendapat
dari bahasa Arab, al-Shin yang
berarti Cina. Ia dilahirkan pada tahun 980 M di bukhara, tepatnya di Afshana,
ayahnya bernama Abdullah dari balkh, suatu kota yang termasyhur di kalangan
orang-orang Yunani, dengan nama Bakhtra yang berarti cemerlang yang termasuk
wilayah Afganistan, Namun demikian ia ada yang menyebutkan sebagai kebangsaan
Persia, karen apada abad X masehi, wilayah Afganistan termasuk daerah Persia[28].
Menurut Ibnu Sina tujuan
pendidikan harus diarahkan pada pengembangan seluruh potensi yang dimiliki
seseorang ke arah perkembangan yang sempurna yaitu perkembangan fisik,
intelektual dan budi pekerti[29].
Selain itu tujuan pendidikan harus diarahkan pada upaya mempersiapkan seseorang
agar dapat hidup di masayarakat secara bersama-sama dengan malakukan pekerjaan
atau keahlian yang dipilihnya sesuai dengan bakat, kesiapan, kecenderungan dan
potendsi yang dimiliki. Semua itu baru didapat dengan adanya kurikulum yang
baik dan memadai.
Konsep Ibnu Sina mengenai
kurikulum didasarkan pada tingkat usia anak didik, anak usia tiga sampai lima
tahun, misalnya perlu diberikan mata pelajaran olah raga untuk diarahkan dalam
membina kesempurnaan pertumbuhan fisik si anak dan organ tubuh secara optimal.
Selanjutnya pelajaran budi pekerti diarahkan untuk membekali si anak agar
memiliki kebiasaan sopan santun dalam pergaulan hidup sehari-hari, dalam
pelajaran kebersiahan di ajarkan agar si anak memiliki kebiasaan mencintai
kebersihan serta pendidikan seni suara dan kesenian diarahkan agar si anak
memiliki ketajaman perasaan dalam mencintai serta meningkatkan daya khayalnya.
Selanjutnya untuk anak usia
enam sampai empat belas tahun, menurut Ibnu Sina adalah cukup pelajaran membaca
dan menghapal al-Quran, palajaran agama, pelajaran sya’ir dan olah raga.
Selanjutnya untuk anak usia di
atas empat belas tahus, mata pelajaran yang bersifat teoritis dan praktis
seperti biologi, kedokteran, asrologi, kimia, keseluruhan tergolongan ilmu-ilmu
fisika, matematika dan ketuhanan.
Kemudian mata pelajran yang bersifat
praktis adalah ilmu akhlak, ilmu mengurus rumah tangga serta ilmu politik. dari
uraian di atas, konsep kurikulum yang ditawarkan Ibnu Sina memiliki tiga ciri:
- Bahwa
kurikulum tidak terbatas pada sekedar menyusun sejumlah mata pelajaran,
melainkan disertai dengan penjelasan tentang mata pelajaran tersebut serta
aspek psikologisnya[30].
- Bahwa
kurikulum didasarkan pada pemikiran yang bersifat fragmatis fungsional
yakni melihat kegunaan dari ilmu dan keterampilan yang dipelajari dnegan
tuntutan masyarakat.
- Bahwa
kurikulum dipengaruhi oleh pengalaman yang terdapat dalam dirinya agar
setiap orang yang mempelajari berbagai ilmu dan keahlian menempuh cara
sebagaimana dilakukan[31].
Sementara untuk metode
pengajaran yang ditawarkan Ibnu Sina antara lain terlihat pada setiap materi
pelajran, seperti metode talqin, demonstrasi pembiasan dan teladan, diskusi,
magang dan penugasan. Teladan paling efektif dalam pengajarn akhlak.
Sedangkan konsep guru yang
ditawarkan Ibnu Sina antara lain berkisar tentang guru yang baik, adalah guru
yang berakal cerdas, beragama, mengetahui cara mendidik akhlak, cakap dalam
mendidik anak, berpenampilan tenang, jauh dari berolok-olok dan main-main di
hadapan muridnya, tidak bermuka masam, sopan santun, bersih, suci dan murni[32].
VIII. KESIMPULAN
Kalau diperhatikan seluruh
uraian dalam makalah ini, akakn jelaslah sampai mana fsilitas-fasilitas yang
diberikan oleh agama islam bagi suatu filsafat yang disebut Filasafat
Pendidikan Islam.
Kesimpulan yang dapat diambil adalah:
- Unsur
filsafat dari Filsafat Pendidikan Islam, yang berintiukan kemerdekaan
berpikir, mendapat tempat dalam agama Islam dan mendapat petunjuk-petunjuk
pemakaiannya.
- Unsur
pendidikan uang merupakan usaha antar manusia adalah sangat dipentingkan
dalam agama Islam, dan diberikan dasar-dasar tuntutann dan kegunaannya
dalam agama.
- Unsur
pendidikan yang merupakan usaha pemindahan kebudayaan yang juga mendapat
tempat dalam ruang ajaran-ajaran agama dan diberikan batas-batas pemakaian
dan penilaiannya.
- Unsur
pendidikan sebagai usaha penyampaian nilai-nilai kemasyarakatan,
kesusilaan dan keagmaan, dipenuhi dengan nilkai agama Islam yang meliputi
juga kesusilaan dan kemasyarakatan. Bahwa nilai-nilai agama adalah mutlak
dari Tuhan, bukan ciptaan manusia tidaklah mengurangi tugas dari manusia;
untuk menyampaikan nilai-nilai itu kepada sesamanya.
- Unsur
pendidikan sebagai usaha yang emmbawa manusia pada suatu tujuan akhir
mendapat ketegasan dalam agama Islam. Tujuan itu adalah penyerahan diri
kepada Allah, sebagai juga tujuan hidup semua muslim.
DAFTAR PUSTAKA
§ Hamdani Ctc, Filsafat
Pendidikan, Bandung, Pustaka Setia, 1998
§ Abdul Al-Raziq,
Mustafa, Tauhid li Tarikh al-Islamiyah (Terjemahan), Lajnah al-Ta’rif
al-Tarjamah al-Nash al-Qahriyah, 1959
§ Tim Dosen FIP IKIP
Malang, Kapita Selekta Pengantar Dasar-dasar Pendidikan, IKIP Malang,
1984
§
Brubalher, S John, Modern
Philosophies of Education (terjemahan), Mc Gran Hill Publishing, New Delhi , 1984
§ D Marimura, Ahmad, PengantarFilsafat
Pendidikan Islam, Bandung, Al-Ma’ruf, 1980
§ Nasution, S, Pengembangan
Kurikulum, Bandung, Citra Madyaksa Bhakti
§ Nata, Abuddin, Filsafat
Kependidikan Islam, Jakarta, Lugas, 2000
§
As-Saqa, Mustafa, Dab
ad-Dunya wa ad-Din, Beirut ,
Dar al-Fikri, 1995
§ Dra. Zuhairini Ctc, Filsafat
Pendidikan Islam, Jakarta, Litbang Depag, 1995
[1] Drs. H. Hamdani Ctc, Filasafat Pendidikan
Islam, Bandung, Pustaka Setia, 1998, hal. 76
[2] Drs. Hamdani Ctc, Op. Cit, hal. 83
[3] Mustahafa Abdul al-Raziq, Tamhid li
Tarikh al-Falsafah al-Islamiyah, Lajnah al-Ta’rif al-tarjamah wa al-nasyr,
al-Qahiriah, 1959, hal. 132
[4] Ahmad D. marimura, Pengantar
Filsafat Pendidikan Islam, Bandung, al-Ma’ruf, 1990, hal. 16
[5] Ahmad D Marimura, Ibid, hal. 16
[6] Tim Dosen FIP IKIP Malang, Kapita
Selekta-Pengantar Dasar-dasar Kependidikan. IKIP Malang, 1981, hal. 2
[7]
John S. Brubacher, Modern Philosophies of Education. Fourth Edition, tata Mc.
Grwa-Hill Publishing Company Ltd, New
Delhi , 1981, hal. 371
[8] Drs. Hamdani, Op. cit. hal. 29
[9] Dra. Zahairimi Ctc, filsafat Pendidikan
islam, Jakarta, Litbang Depag, 1995,
hal. 131
[10] Dra. Zuhairini Ctc, Op. Cit, hal.
132
[11] Drs. H.
Hamdani, Loc. Cit, hal. 63
[12] Drs.
Hamdani Ctc, Ibid, hal. 65
[13] Drs. Hamdani, Op. Cit, hal. 93
[14] Drs. Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat
Pendidikan Islam, al-Ma’ruf, Bandung ,
1980, hal. 38
[15] S. Nasution, Pengembangan Kurikulum,
Bandung, Citra Adhyaksa Bakti, hal. 9
[16] Hasan Langgulung, Azas-azas Pendidikna
Islam, Jakarta, Pustaka Husna, hal. 483
[17] Hasan Langgulung, Op. Cit, hal. 486
[18] Drs. H. Abuddin Nata, MA, Filsafat
Pendidikan Islam, Jakarta, Lugos, hal. 125
[19] Drs. H. Abuddin Nata, MA, Op. Cit, hal.
127
[20] DR. H. Abudin Nata, MA. Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam,
Jakarta, Rajawali Press, hal. 84
[21] Fathiyah Hasan Sulaiman, Op. Cit, hal.
18. lihat pula H.M. Arifin, M.Ed., Filsafat
Pendidikan Islam, )Jakarta; Bumi Aksara, 1991), cet.I, hal. 87
[22] DR. H. Abudin Nata, MA, Op. Cit. hal. 86
[23] DR. Abuddin Nata, MA, Op. Cit, hal.
91
[24] Lihat Pengantar Mustafa as-Saqa, Dab al-Dunya wa ad-Din, (Beirut: dar
al-Fikr, 1995), hal. 1
[25] DR. Abudin Nata, MA, loc. Cit,
hal. 49
[26] Lihat
al-Mawardi, adab ad-Dunya wa ad-Din,
(Beirut : Dar
al-Fikr, t.t.), hal. 80
[27] DR. H.
Abudin Nata, MA, Loc. Cit, hal. 50
[28] DR. H. Abudin nata, MA, Op. Cit, hal. 61
[29] Ibnu Sina, As-Siyasah fi At-Atrbiyah, Mesir, Majalah al-Masyriq, hal. 1070
[30] DR. H. Abudin Nata, MA, Op. Cit, hal. 73
[31] DR. H. Abudin Nata, MA, Ibid, hal. 73
[32] DR. H. Abudin Nata, MA, Op. Cit,
hal. 77
Tidak ada komentar:
Posting Komentar