BAB I
PENDAHULUAN
A. Pengertian Tarikh
Tasyi’ Islam
Secara etimologi,
tarikh dalam Arab berarti buku tahunan, perhitungan tahun, buku riwayat, atau
sejarah. Dalam bahasa Inggris, tarikh diterjemahkan history, yang berarti
pengalaman masa lampu umat manusia, the past expreience of mankids. Pengertian
selanjutnya, tarikh bermakna sejarah sebagai catatan yang berhubungan dengan
peristiwa-peristiwa masa lampau yang diabdikan dalam laporan tertulis dan dalam
ruang lingkup yang luas. Dengan demikian, tarikh merupakan pembahasan segala
aktivitas manusia yang berkaitan dengan peristiwa-peristiwa tertentu pada masa
lampau yang disusun secara sistematis dan kronologis.
Tasyri’, secara etimologi, berarti pembuatan undang-undang atau
peraturan-peraturan (taqnin). Secara terminologis, tasyi’ adalah penetapan
peraturan, penjelasan hukum-hukum, dan penyususnan perundang-undangan. Menurut
batasan ini, tasyi’ merupakan produk ijtihad manusia dalam proses pembentukan
perundangan-perundangan (fikh).
Kata tasyri’ sendiri berasal dari kata syari’at. Syari’at sebagaimana
dikemukakan oleh Muhammad Sya’ban Isma’il adalah apa yang telah ditetapkan oleh
Allah bagi hamba-Nya berupa hukum-hukum, baik hukum keyakinan (‘aqdidiyyah),
hukum amaliyah maupun hukum akhlak. Dengan demikian, syariat merupakan
peraturan yang telah ditetapkan Allah kepada Nabi Muhammad bagi manusia yang
mencakup keyakinan (‘aqaid), perbuatan (‘amaliah), dan akhlak.
Adapun tarikh
tasyri’ Islam, seperti dikemukakan Ali Al-Sayyis, adalah ilmu yang membahas
keadaan hukum-hukum (fiqh) pada masa Nabi dan sesudahnya termasuk penjelasan
dan periodesasinya yang padanya berkembang hukum itu, menjelaskan
karakteristiknya (naskh, takhshish, dan sebagainya), juga keadaan fuqaha dan
mujtahidin, serta merumuskan hukum-hukum-hukum itu.
Menurut batasan
di atas, tampak bahwa tarikh tasyri’ Islam merupakan pembahasan tentang segala
aktivitas manusia dalam pembentukan perundang-undangan Islam di masa lampau,
baik masa Nabi, sahabat maupun tabi’in (para mujtahid) sampai sekarang, secara
sistematis dan kronologis.
B. Ruang Lingkup
Pembahasan Tarikh Tasyi’ Islam
1. Sumber Tasyri’
Islam
Secara garis
besar, sumber tasyri’ Islam terbagi dua bagian, yaitu tasyri’ yang bersumber
dari Allah (al-tasyri’ al’ilahiy) dan tasyri’ yang bersumber dari manusia
(al-tasyri’ al-wadh’iy). Tasyri’ pertama merupakan peraturan yang ditetapkan
Allah berupa ayat-ayat Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Sedangkan tasyri’ kedua
merupakan peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh para mujtahid, baik mujtahid
sahabat maupun mujtahid tabi’in atau para pengikut tabi’in dan seterusnya,
dengan cara mengistinbath dari tasyri’ ilahi.
Sumber tasyri’
kedua dibagi menjadi ibadah dan muamalah. Ibadah adalah tasyri’ Islam yang
membahas hubungan manusia secara vertikal dengan Allah, sedangkan muamalah
adalah tasyri’ Islam yang membahas hubungan manusia secara horizontal dengan
manusia lainnya. Ulama Hanafiyah membaginya kepala tiga bagian, yaitu ibadah,
muamalah, dan ‘uqubah. Adapun ulama Syafi’iyah membaginya kepada empat bagian:
ibadah, muamalah, munakahah, dan ‘uqubah.
2. Prinsip-prinsip
Tasyri’ Islam
a. Menegakkan
Maslahat
Tasyri’ Islam
benar-benar memperhatikan kemaslahatan manusia. Maslahat dapat diartikan
perolehan manfaat dan penolakan terhadap kesulitan. Maslahat merupakan dasar
yang dikembangkan dalam hukum dan perundangan Islam. Ia memiliki landasan yang
kuat dalam Al Qur’an (Q.S. Al-Anbiya : 107) dan Al Sunnah, diantaranya hadist
yang diriwayatkan oleh Al Daruquthni dan Hakim dari Abi Sa’id: “tidak boleh
menyulitkan orang-orang lain dan tidak boleh pula disulitkan orang lain.
Secara umum,
maslahat dibagi tiga: maslahat mu’tabarah, maslahat mulghah, dan maslahat
mursalah. Maslahat mu’tabarah dapat diklasifikasikan menjadi tiga tingkatan:
dharuriyyah (primer), hajiyyah (sekunder), dan tahsiniyyah (tersier). Kandungan
maslahat dharuriyyah ada lima tujuan agama (maqashid al-syari’ah), yaitu
pemeliharaan agama (hifzh al-din), pemeliharaan keturunan (hifzh al-nasl),
pemeliharaan jiwa (hifzh al-nafs), pemeriharaan akal (hifzh al-‘aql), dan
pemeliharaan harta (hifzh al-mal).
Maslahat
tahsiniyyah adalah sesuatu yang mengandung manfaat bagi manusia, tetapi tidak
tergolong pokok, seperti nikah, bagi laki-laki dan belum ba’at yang dianjurkan
Nabi untuk berpuasa. Maslahat mulghah adalah suatu perbuatan yang didalamnya
terkandung manfaat, tetapi dalam syara’ tidak ditetapkan secara pasti.
Maslahat mursalah
adalah sesuatu yang bermanfaat, tetapi tidak diperintahkan oleh Allah dan
Rasul-Nya. Misalnya, memerangi umat Islam yang enggan membayar zakat.
b. Menegakkan
Keadilan (Tahqiq Al-Adalah)
Dalam pandangan
Islam, manusia itu sama, tidak ada kelebihan antara satu dan yang lainnya
karena faktor keturunan, kekayaan, atau kedudukan. Hukum Islam pun
memperlakukan manusia secara sama dalam menghadapi keadilan.
Dalam beberapa
ayat Al Qur’an dijumpai perintah untuk perilaku adil, di antaranya dalam surat
Al Maidah ayat 5: “Berlakulah adil, karena adil itu lebih dekat kepada
takqa...”, surah Al Nahl ayat 90: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu berlaku
adil dan berbuat kebaikan...”.
c. Tidak Menyulitkan
(‘Adam Al-Haraj)
Al haraj memiliki
beberapa arti, di antaranya sempit, sesat, paksa, dan berat. Secara
terminologi, al-haraj adalah segala sesuatu yang menyulitkan badan, jiwa, atau
harta seseorang secara berlebihan, baik sekarang maupun di kemudian hari.
Meringankan
hukum-hukum itu bisa dengan beberapa cara, yaitu sebagai berikut :
1. Pengguguran
kewajiban
2. Pengurangan kadar
yang telah ditentukan
3. Penukaran
4. Mendahulukan
5. Mengangguhkan
6. Perubahan
d. Menyedikitkan
beban (Taqlil Al-Taklit)
Secara etimologi,
taklif berarti beban. Secara terminologis taklit adalah tuntutan Allah untuk
berbuat sehingga dipandang taat, dan tuntutan untuk menjahui cegahan Allah.
Dengan demikian, yang dimaksud menyedikitkan beban adalah menyedikitkan
tuntutan Allah untuk berbuat, mengerjakan perintah-Nya, dan menjauhi
larangan-Nya. Pertimbangan menyedikitkan beban ini didasarkan pada surat
Al-Maidah ayat 101.
e. Berangsur-angsur
(Al Tadrij)
Hukum Islam
dibentuk secara tertahap dan didasarkan pada Al-Qur’an yang diturunkan secara
bertahap pula. Salat, misalnya pada awalnya diperintahkan pada dua waktu saja,
yaitu pagi dan sore (Q.S. Hud: 114), kemudian dalam tiga waktu (Q.S. Al-Isra’:
78), akhirnya berdasarkan hadits fi’li yang mutawatir salat wajib dilakukan lima
kali dalam sehari semalam.
C. PERIODESASI
(PERKEMBANGAN) TASYRI’ ISLAM
Ulama berbeda
pendapat dalam menentukan periodesasi tasyri’ Islam. Di antara para sejarahwan
yang menentukan periodisasi tasyri’ Islam adalah Khudhari Beik, Abd Al-Wahhab
Khalaf, Mushthafa Sa’id Al-Khin, Sulaeman Al-‘Asyqar dan ‘Ali Al-Sayis.
Periodesasi
tasyri’ Islam mengikuti periodesasi yang dikemukakan Al-Sayis. Tarikh tasyri’
Islam, menurutnya mencakup tasyri’ masa Rasulullah, tasyri’ masa khulafa,
tasyri’ masa pasca khulafa hingga awal abad kedua Hijrah, tasyri’ masa awal
abad kedua hijrah hingga pertengahan abad keempat Hijrah, tasyri’ masa
pertengahan abad keempat hingga kehancuran Bagdad, dan tasyri’ masa kebangkitan
(sekarang).
BAB II
TASYRI’ ISLAM
PADA MASA RASULULLAH
A. Masyarakat Arab
Sebelum Islam
Bangsa arab
pra-Islam dikenal sebagai bangsa yang sudah memiliki kemajuan ekonomi. Letak
geografis Arab yang strategis, membuat Islam mudah tersebar ke berbagai
wilayah. Hal lain yang mendorng cepat lajunya perluasan wilayah karena berbagai
upaya yang dilakukan umat Islam.
Ada beberapa ciri utama tatanan bagsa
Arab pra-Islam, di antaranya (1) menganut paham kesukuan (qabilah); (2)
memiliki tata sosial politik yang tertutup dengan partisipasi warga yang
terbatas; faktor keturunan lebih penting ketimbang kemampuan, (3) mengenai
heirarki sosial yang kuat, (4) kedudukan perempuan cenderung direndahkan.
Dalam aspek
akidah, orang arab pra-Islam percaya kepada Allah sebagai pencipta
(Q.S. Luqman; 25 dan Q.S. Al-Ankabut; 63). Sumber kepercayaan itu adalah
risalah samawiyah yang dikembangkan dan disebarluaskan di jazirah Arab,
terutama risalah Ibrahim dan Ismail. Namun, mereka kemudian melakukan
penyimpangan terhadap agamanya sehingga menjadikan berhala (ashnam), pepohonan,
binatang, dan jin sebagai penyerta Allah, syirk (Q.S. Al-Anam; 100) demi
kepentingan ibadah, bangsa Arab pra-Islam membuat 360 buah berhala di sekitar
Kabah karena setiap kabilah memiliki berhala masing-masing. Mereka pada umumnya
tidak percaya pada hari kiamat dan tidak percaya pada kebangkitan setelah mati
(Q.S. Al-Mukminun; 27). Meskipun pada umumnya mereka melakukan penyimpangan,
ada sebagaian kecil bangsa Arab masih mempertahankan akidah monoteisme (tauhid)
seperti yang diajarkan ibrahim (Al-Hunafa). Di antaranya meraka itu, misalnya,
Umar bin Nufail dan Zuhair bin Abi Sulma.
Dalam perkawinan
mereka mengenal beberapa macam perkawinan, di antaranya istibdla, poliandri,
maqthu’, badal dan syighar.
Dilihat dari
sumber yang digunakan, hukum Arab pra-Islam bersumber kepada adat istiadat.
Dalam bidang muamalah, di antara kebiasaan mera adalah dibolehkannya transaksi
barter (mubadalah), jual beli, kerja sama pertanian (muzara’ah), dan riba. Di
samping itu, di kalangan meraka juga terdapat jual beli yang bersifat
spekulatif, seperti ba’i al-munabadzah.
B. Tasyri’ Periode
Mekah dan Madinah
Tasyri’ masa Nabi
dapat dibedakan dalam dua fase, yaitu fase Mekah dan fase Madinah. Fase Mekah
di mulai sejak Nabi Muhammad menetap dan berkedudukan di Mekah yang lamanya
sekitar 12 tahun dan diangkat menjadi Rasul hingga hijrah ke Madinah.
Periode Madinah
di mulai sejak Nabi hijrah ke Madinah di sini beliau tinggal selama 10 tahun
hingga wafatnya.pada periode ini umat Islam tidak lagi lemah karena jumlahnya
banyak dan berkualitas. Mereka mengeliminasi permusuhan dalam rangka mengesakan
Allah. Mereka juga mengajak pengamatan syariat Islam dalam rangka memperbaiki
hidup bermanfaat serta membentuk aturan damai dan perang.
C. Sumber Tasyri’
pada Masa Rasulullah
1. Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah firman Allah yang di-nuzulkan kepada Nabi
Muhammad yang dinukil secara mutawatir, dan dipandang beribadah membacanya.
Al-Qur’an memuat hukum-hukum yang mencakup hukum keyakinan (ahkam I’tiqadiyyah),
hukum akhlak (ahkam khulqiyyah), dan hukum amaliah (ahkam ‘amaliyyah).
Adapun
hukum muamalah, menurut Abd Al-Wahab Khalaf, mencakup hal-hal berikut :
a. Hukum Keluarga (al-ahwan al-syakhsiyyah)
b. Hukum kebendaan (ahkam al-madaniyyah)
c. Hukum jinayah (ahkam jinaiyyah)
d. Lembaga peradilan (ahkam al-murafa’at)
e. Hukum perundang-undangan (ahkam al-dusturiyyah)
f. Hukum negara (al-ahkam al-dawliyyah)
g. Hukum negara (al-ahkam al-dawliyyah)
h. Hukum ekonomi (al-ahkam al-iqtishaaiyya wa al-maliyyah)
2. Al-Sunnah
Al-Sunnah diartikan sebagai sesuatu yang disadarkan
(udhifa) kepada Nabi Saw, baik berupa perkataan, perbuatan maupun ketetapan
(taqrir)-Nya. As-Sunnah dari segi bentuknya dibagi menjadi tiga bagian : Sunnah
Qauliyyah, Sunnah fi’liyyah dan Sunnah taqririyyah.
D. Ijtihad pada Masa Rasulullah
Para ulama berbeda pendapat mengenai Ijtihad Nabi yang
tidak berdasarkan wahyu. Asy ariyyah dan mayoritas Mu’tazilah berpendapat,
Rasulullah tidak boleh melakukan ijtihad terhadap sesuatu yang tidak ada nash
(halal dan haram). Menurut ulama hadits dan ulama ushul, Rasulullah dibolehkan
melakukan ijtihad dalam mengahdapi hukum-hukum yang tidak ada nash atau
wahyunya.
BAB III
TASYRI ISLAM PADA MASA
SAHABAT GENERASI PERTAMA (KHULAFA RASYIDUN)
A. Pengaruh
Fatwa terhadap Perkembangan Hukum
Setelah Rasulullah wafat, para sahabatlah yang meneruskan
ajaran dan misi kerasula. Abu Bakar, secara aklamasi, diangkat menjadi khalifah
pertama. Pada awal pemerintahnya. Ia telah menghadapi masalah berupa
pemberontakan dari beberapa federasi (suku) Arab yang berusaha memberontak
terhadap umat Islam, khususnya terhadap pemerintah sah Abu Bakar. Karena
hubatnya pemberontakan itu, ada sebagian federasi di Arabia yang melepaskan
diri dari Islam (al-riddah), ada juga sebagian masyarakat yang masih memeluk Islam,
tetapi enggan membayar zakat. Dalam pandangan Abu Bakar, pemberontakan itu
dapat menganggu stabilitas pemerintah. Berdasarkan itu, ia mengirim pasukannya
untuk memerangi mereka. Dalam sejarah, pertempuran ini dikenal sebagai Perang
Riddah.
B. Perbedaan
pendapat di Kalangan Sahabat
Perbedaan
pendapat di kalangan sahabat yang berhubungan langsung dengan Al-Qur’an adalah
watak bahasa Arab yang mengandung makna ganda. Penyebab kedua dikarenakan ada
dua ketentuan yang disebabkan oleh dua sebab yang berbeda, tetapi tidak
diantisipasi kemungkinan bergabungnya dua sebab tersebut.
Perbedaan
pendapat yang berhubungan dengan Al-Sunnah, di antaranya dikarenakan tidak
semua sahabat memiliki penguasaan yang sama terhadap Al-Sunnah. Di antara
mereka ada yang penguasaan Sunnahnya cukup luas, ada yang sedikit. Ada sebab
lainnya karena sahabat berbeda pendapat dalam menakwilkan Al-Sunnah. Perbedaan
pendapat (ikhtilaf) di kalangan sahabat disebabkan oleh penggunaan ra’y.
C. Perkembangan
Fatwa Sahabat
Abu Bakar,
sebagai khalifah pertama melakukan ijtihad berikut. Pertama, berhubungan dengan
harta peninggalan Nabi Muhammad. Dalam Al-Qur’an ahli waris dapat menerima
warisan jika yang mewariskan meninggalkan harta (Q.S Al-Nisa: 4).
Kedua, berkenaan
dengan seorang nenek yang datang kepada Abu Bakar dan bertanya tentang kadar
bagian yang dapat diterimanya dalam salah satu pembagian warisan.
Khalifah kedua,
umar dikenal sebagai sahabat yang banyak melakukan ijtihad dan sangat hati-hati
dalam menerima hadits.
Khalifah ketiga,
Utsman bin ‘Affan, juga berijtihad. Diantara pendapatnya, istri yang dicerai
suaminya yang sedang sakit dan suaminya itu meninggal dunia karena sakitnya,
mendapatkan harta pustaka, baik si istri dalam masa tunggu (‘iddah) maupun
tidak.
Khalifah keempat,
Ali bin Abi Thalib melakukan ijtihad dalam hal-hal berikut. Larangan meminum
khamar yang keharamannya ditetapkan secara bertahap. Pada awalnya dinyatakan
bahwa khamar lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya (Q.S. Al-Baqarah :29).
Larangan kedua menyatakan bahwa orang mabuk dilarang melakukan shalat (Q.S.
An-Nisa :43)
Demikianlah
perkembangan tasyri’ pada masa Khulafa’ Rasyidan. Berbeda dimasa Nabi Muhammad
pada masa Khulafa’ Rasyidan ini permasalahan hukum semakin banyak seiring
dengan semakin banyaknya penganut Islam di berbagai penjuru dunia.
BAB IV
TASYRI’ PADA MASA
SAHABAT
GENERASI KEDUA
(BANI UMAYYAH/
661-750 M)
A. Keadaan Sosial
Masyarakat Islam
1. Sistem
Pemerintahan
Setelah masa
khulafa’ Rasyidan berarkir, fase selanjutnya dikenal dengan tabi’in atau
sahabat generasi kedua yang memerintahkannya dipimpin oleh Bani Umayyah. Kepala
pemerintahannya dipimpin Muawiyyah setelah ia berhasil mengalahkan rival
beratnya, Ali bin Abi Thalib. Keberhasilan Muawiyyah menjadi nomer satu di
pemerintahan tidak lepas dari kelihaiannya mengadu strategi dengan pihak Ali.
Mereka memisahkan
diri dan tidak mendukung Ali lagi. Dalam sejarah kelompok ini dikenal dengan
sebutan Khawarij.
Pemerintahan Bani
Umayyah menggunakan sistem monarkhi (kerajaan) menggantikan sistem pemerintahan
sebelumnya, yang bersifat kekhalifahan. Perubahan sistem pemerintahan ini
merupakan masalah baru bagi umat Islam, sebab pada pemerintahan Bani Umayyah
ini telah dikenal putra mahkota yang akan menggantikan kepala negara secara
turun-temurun. Umat Islam saat itu paling tidak terpecah menjadi tiga kelompok:
Khawarij sebagai penentang, Ali: Syi’ah sebagai pendukung setia Ali; dan
kelompok mayoritas (jumhur).
2. Perluasan atau
Ekspansi Wilayah Islam
Langkah awal yang
dilakukan Muawiyyah dalam menjalankan pemerintahannya yaitu memindahkan pusat
pendidikan dari Madinah ke Damaskus.
3. Perbedaan
Penggunaan Ra’y
Pada masa Tabi’in
ini para ulama dibedakan menjadi dua aliran, yaitu Ahl Al-Hadits (Madrasah
Al-Madinah) dan Ahl Al-Ra’y (Madrasah Al-Kufah). Ahl Al-Hadits adalah golongan
yang banyak menggunakan riwayat dan sangat berhati-hati dalam penggunaan Ra’y.
Aliran ini dipelopori oleh Sa’id bin Al-Musayyab (wafat th 93 H). Salah seorang
imam Ahl Al-Hadits, Imam Malik, berpendapat, bahwa Ijma’ penduduk Madinah
merupakan Hujjah yang wajib diikuti. Dalam perkembangan selanjutnya, aliran ini
terpecah menjadi empat aliran : Malikiah (pengikut imam Malik), Syafi’iah (pengikut
Imam Syafi]i), Hanbaliah (pengikut Ahmad ibn Hanbal), dan Hanafiah (pengikut
imam Abu Hanifah). Bahkan ada yang menganggap Zhahiriah sebagai aliran Ahl
Al-Hadits.
B. Sumber Tasyri’
pada Masa ini
Dengan demikian,
sumber hukum pada masa tabi’in adalah Al-Qur’an, Al Sunnah, Ijma’ (qaul)
sahabat, dan ijtihad.
C. Ijtihad pada Masa
ini
Ada tiga aliran
dalam pemikiran hukum Islam yang akan dibahas dalam tulisan ini, Khawatrij,
Syi’ah dan Jumhur. Ketiga aliran ini memberikan kontribusi dalam perkembangan
pemikiran hukum Islam.
1. Pemikiran Hukum
Islam Khawarid
a. Pemikiran Jumhur
(Sunni) di antaranya bahwa kepemimpinan mesti di pegang oleh Quraisy;
b. Dalam Al-Qur’an
terdapat sangsi bagi pelaku zina, yaitu dicambuk (al-jild) seratus kali (Q.S.
An-Nur : 2).
c. Dalam Al-Qur’an
terdapat perincian tentang perempuan yang haram dinikahi, di antaranya anak
perempuan (banat) (Q.S An-Nisa: 23-24)
d. Khawarij pada
umumnya berpendapat bahwa menikah dengan perempuan yang tidak termasuk sekte Khawarij
tidak sah, sebab mereka dianggap kafir.
e. Ketika terjadi
perang antara kelompok Khawarij dan umat Islam yang boleh dijadikan ghaninah,
menurut Ibadiyah, hanyalah senjata dan kuda.
2. Pemikiran Hukum
Islam Syiah
Menurut Syi’an
sumber hukum Islam, secara umum, ada dua yaitu Al-Qur’an dan Al Sunnah. Mereka
menolak ijma’ secara umum, kecuali mengambil pendapat dari para imam mereka.
Mereka juga menolak qiyas sebagai bagian dari ra’y, karena menurut mereka,
agama bukan diambil dari ra’y.
Al-Qur’an dalam
pandangan mereka ada dua makna, yaitu lahir dan batin. Makna batin Al-Qur’an
hanya diketahui oleh Imam. Adapun Al-Sunnah, menurut mereka, dapat dibedakan
menjadi empat, yaitu hadits shahih (otentik), hadis hasan (baik), hadits mutsaq
(kuat). Dan hadist dla’if (lemah).
3. Pemikiran Hukum
Islam Jumhur
Ada beberapa
pemikiran hukum yang dikemukakan Jumhur.
a. Penolakan
terhadap keabsahan nikah mut’ah. Menurut jumhur Sunni, nikah mut’ah haram
hukumnya dilakukan. Pendapat ini sejalan dengan pendapat Umar bin Khadab.
b. Jumhur
menggunakan konsep ‘aul dalam pembagian harta warisan. Dalam hal ini, pendapat
mereka sejalan dengan Umar, Zaid bin Tsabit, dan Abbas Abd Muthalib.
c. Nabi Muhammad
tidak dapat mewariskan harta, karena terdapat sebuah hadits yang menyatakan:
“Kami, seluruh Nabi, tidak mewariskan harta; harta yang kami tinggalkan adalah
shadaqah.
d. Jumlah perempuan
yang boleh dipoligami dalam satu periode sampai empat orang sebagai penafsiran
atas surat An-Nisa ayat 3 dan hadits yang diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim.
Ayat dan hadits tersebut pada dasarnya merupakan pembentukan hukum Islam secara
bertahab.
BAB V
TASYRI’ PADA MASA
AWAL ABAD
KEDUA HIJRAH
SAMPAI PERTENGAHAN ABAD KEEMPAT
(DAULSH
ABBASIAH/750-1258 M)
Pemerintah Islam
pasca keruntuhan Daulah Umayyah segera digantikan oleh Daulah Abbasiah. Masa
Abbasiah ini disebut juga masa Mujahidin dan masa pembukuan fikih, karena pada
masa ini terjadi pembekuan dan penyempurnaan fikih. Pada masa Abbasiyyah, yang
dimulai dari pertengahan adab ke-2 H sampai peretngahan abad ke-4 ini, muncul
usaha-usaha pembukuan Al-Sunnah, fatwa-fatwa sahabat, dan tabi’in dalam bidang
fikih, tafsir, ushul al-fiqh. Pada masa ini pada lahir para tokok dalam
istinbat dan perundangan-undangan Islam.
Masa ini disebut
Masa Keemasan Islam yang ditandai dengan berkembangannya ilmu pengetahuan yang
pengaruhnya dapat dirasakan hingga sekarang. Pada masa ini muncul pula
mazhab-mazhab fikih yang banyak mempengaruhi perkembangan hukum Islam.
A. Faktor Pendorong
Perkembangan Tasyri’
Faktor utama yang
mendorong perkembangan hukum Islam adalah berkembanganya ilmu pengetahuan di
dunia Islam. Berkembangnya ilmu pengetahuan di dunia Islam disebabkan oleh
hal-hal berikut. Pertama, adanya penterjemahan buku-buku Yunani, persia,
Romawi, dan sebagainya, ke dalam bahasa Arab.
Faktor lain yang
mempengaruhi berkembanganya pemikiran adalah luasnya ilmu pengetahuan. Faktor
lainnya adalah adanya upaya umat Islam untuk melestarikan Al-Qur’an, baik yang
dicatat, termasuk yang dikumpulkan dalam satu mushaf, maupun yang dihafal.
B. Dasar Pemikiran
dan Perkembangan Mazhab Hukum Islam
Aliran hukum
Islam yang terkenal dan masih ada pengikutnya hingga kini hanya beberapa,di
antaranya Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah.
1. Aliran Hanafiah
Aliran ini
didirikan oleh Abu Hanifah, yang nama lengkapnya adalah Al-Nu’man ibn
Tsabit ibn Zuthi (80-150 H). Secara politik, Abu Hanifah hidup dalam
dua generasi; pada masa Bani Umayyah selama 52 tahun dan pada masa Abbasiah
selama 18 tahun. Selama hidupnya ia melakukan ibadah haji lima puluk kali.
Sikap politiknya berpihak pada keluarga ‘Ali (Ahl Al-Bait) yang selalu dianiaya
dan ditindas oleh Bani Umayyah.
a. Guru dan murid
Abu Hanifah
Pada masnya,
terdapat ulama yang tergolong sahabat yang masih hidup, yaitu Annas ibn Sa-ad
Al-Saidi di Madinah, dan Abu Tufail Amir ibn Waillah. Diantara murid Hamad ibn
Sulaiman adalah Ibn Hanifah. Selain kepada Hamad ibn Sulaiman, Abu Hanifah juga
belajar fikih kepada Atha’ ibn Abi Ribbah, Hisyam ibn Urwah, dan Nafi maula Ibn
‘Umar. Di antara murid dan sahabat Ibn Hanifah adalah Yusuf Muhammad Ibn
Al-Hasan Al-Syaiban.
b. Cara ijtihad Abu
Hanifah
Thaha Jabir
membagi cara Ijtihad abu Hanifah menjadi dua cara, yaitu cara ijtihat yang
pokok dan cara ijtihad yang bersifat tambahan. Adapun yang dimaksud cara
Ijtihad Abu Hanifah yang bersifat tambahan bahwa lafazh umum (‘am)badalah
qath’i seperti lafazh khasah.
c. Fiqh Abu Hanifah
Ada beberapa
pemikiran Abu Hanifah dalam bidang hukum. Misalnya, ia berpendapat bahwa benda
wakaf masih tetap milik waqif.
d. Kitab Fiqh
Hanafiah
Risalah Al-Figh Al-Akbar, Al-‘Alim wa
Al-Muta’allim, Jami’Al-Fushulain, Dlarar Al-Hukkam, Multaqa Al-Akhbar, Majmu’
Al-Anshar, dan Radd Al-Mukhtar ‘ala Al-Dlarar Al-Mukhtar yang dikenal dengan
Hasyiyah ibn ‘Abidin.
2. Aliran Maliki
Aliran ini
didirikan oleh Imam Malik, yang nama lengkapnya Malik bin Anas ibn Abi’ Amr
Al-Asbahi. Ia dilahirkan di Madinah tahun 93 H. Sebagaimana Abu Hanifah, ia
termasuk ulama dua zaman. Lahir pada masa Al-Walid bin ‘Abd Al-Malik (Bani
Umayyah) dan meninggal pada massa Harun Al-Rasyid (Bani Abbasiyah).
Semasa hidupnya
ia menyaksikan berbagai pemberontakan rakyat dan kezaliman penguasa waktu itu.
a. Guru Murid Imam
Malik
Guru-guru Imam
Malik di antaranya Abd Al-Rahman ibn Hurmuz, Nafi’ Maula Ibn Umar, dan Ibn
Syihab Al-Zuhri. Gurunya dalam bidang hukum Islam adalah Rabi’ah ibn ‘ Abd
Al-Rahman. Dalam Al-Muwaththa’, Imam Malik meriwayatkan 132 hadits
dari Ibn Syihab, sedangkan dari Nafi’ sekitar 80 hadits. Kalau Abu Hanifah
dikenal sebagai pelanjut Ahl Al-Ra’y, maka Imam Malik dikenal sebagai pelanjut
Ahl-Hadits.
b. Cara Ijtihad Imam
Malik
Menurut Al-Faayadh Al-‘Uwaniy, ada
beberapa langkah ijtihad Imam Malik, yaitu megambil dari Al-Qur’an; menggunakan
zhahir Al-Qur’an (lafazh ‘am); menggunakan dalil Al-Qur’an (mafhum al
muwafaqah); menggunakan mafhum Al-Qur’an (mafhum al Mukhalajah), dan
menggunakan tanbih Al-Qur’an (memperhatikan ‘illat). Langkah berikutnya adalah
ijma’ qiyas, amalan penduduk Madinah, istihsan, sadz dzara’i, mashalih
mursalah, qaul shahabiy, mura’at khilaf, istishhab, dan syar’ man qablana.
c. Ijma’ Ulama
Madinah
Ada beberapa pendapat Imam Malik yang
didasarkan atas Ijma’ ulama Madinah.
d. Pendapat Imam
Malik
1) Ulama sepakat
tentang ketidakbolehkan menikah bagi wanita yang sedang dalam masa ‘iddah, baik
‘iddah hamil, ditinggal mati maupun cerai (Q.S Al-Baqarah : 223 dan 234).
2) Hanafi
berpendapat bahwa salah gehana matahari dan salat gerhana bulan dilaksanakan
dua rakaat dan terdapat dua rukuk dalam setiap rakaatnya.
3) Imam Malik
berpendapat bahwa jumlah minimal mahar adalah tiga dirham atau seperempat
dinar.
3. Aliran Syafi’iyah
Aliran ini
didirikan oleh Imam Al-SyAfi’i, yang bernama lengkapnya adalah Muhammad ibn
Idris ibn Al-Abbas ibn Utsman ibn Syafi’i ibn Al-Sa;ib ibn ‘Ubaid ibn ‘Abd
Yazid ibn Hasyim ibn ‘Abd Manaf. Ia dilaahirkan di Gazza, daerah Palestina,
pada tahun 150 H. Kemudian ia dibawa oleh ibunya ke Meka. Ia meninggal di Mesir
pada tahun 204 H.
Ia lahir pada
masa Abbasiyah, tepat pada zaman kekuasaan Abu Ja’far Al Manshar (137-159
H/734-774 M). Ia belajar hadits dan fikih di Mekah.
Al-Syafi’i kemudian berguru kepada
Muhammad ibn Al-Hasan dan yang lainya untuk mempelajari fikih Irak.
Iamam Al-Syafi’i
kembali ke Mekah dengan membawa pengetahuan tentang fikih Irak. Di Mesjid
Al-Haram, ia mengajarkan fikih dalam dua corak, yaitu corak Madinah dan corak
Madinah dan corak Irak.
Di madinah
Al-Syaf’i berguru kepada Imam Malik dan Kufsah berguru kepada Muhammad ibn
Al-Hasan Al-Syaibani yang beraliran Hanafi. Yaman yang menjadi gurunya adalah
Muthrraf ibn Mazim, Hisyam ibn Yusuf, ‘Umar ibn Abi Salamah, dan Yahya ibn
Hasan. Ulama Mekah yang menjadi Gurunya adalah Sufiyan ibn ‘uyainah, Muslim ibn
Kahalid Al-Aththar, dan ‘Abd Al-Hamid ‘Abd Al Aziz. Sa’ad Al-Anshari, ‘Abd
Al-Azizibn Muhammad Al-Dahrawardi Ibrahim ibn Abi Yahya Al-Aslami, Muhammad ibn
Sa’ad ibn Abi Fudaik, dan ‘Abd Allah Ibn Nafi’.
Diantara muridnya
adalah Al-Za’farani, Al-Kurabisri, Abu Tsaur, Ibnu Hanbal Al-Buthi, Al-Muzani,
Al-Rabi’ Al-Muradi di Mesir, dan Abu Ubaid Al-Qasim ibn Salam Al-Luqawi di
Irak.
a. Cara Ijtihad Imam
Syafi’i
Langkah-langkahnya
ijtihadnya dapat diketahui dari perkataannya: “Asal adalah Al-Qur’an dan
Al-Sunnah”. Imam Syafi’i, seperti dikatakan Mana’ Al-Qaththan, mengatakan bahwa
ilmu itu bertingkat-tingkat.
1) Al-Qur’an dan
Al-Sunnah
2) Ijma’ terhadap
sesuatu yang tidak terdapat dalam keduanya.
3) Qaul sebagian
sahabat tanpa ada yang menyalahi-nya.
4) Pendapat sahabat
Nabi yang saling berbeda-beda.
b. Qaul Qadim dan
Qaul Jadid
Qaul Qadim adalah
pendapat Syafi’i yang dikemukakan dan ditulis di Irak, sedangkan qaul Jadid
adalah pendapatnya yang dikemukakan dan ditulis di Mesir. Sebab terbentuknya
qaul Qadim dan Qaul Jadid karena ia mendengar dan menemukan hadist dan fikih
yang diriwayatkan ulama Mesir yang tergolong Ahl-Al-Hadits.
c. Pendapat
Al-Safi’i
Ia juga pernah
memberikan kriteria pemimpin yang dianggap berkualitas, yaitu berakal, dewasa,
merdeka, beragama Islam, laki-laki, dapat melakukan ijtihad, memiliki kemampuan
mengatur (Al Tadbir), gagah berani, melakukan perbaikan agama, dan dari
kalangan Quraisy.
Demikianlah
sekilas riwayat hidup, cara berijtihad, guru-guru dan murid-murid Imam
Al-Syafi’i beserta pendapat-pendapatnya.
1. Aliran Hanbali
Aliran ini
didirikan oleh Ahmad ibn Hanbal, yang nama lengkapnya adalah Abu’ Abd Allah
Ahmad ibn Hilal ibn Asal Al-Saibani Al-Marwazi (164-241 H).Dia dilahirkan di
Bagdad pada tahun 164 H.nia dikenal sebagai imam haditsndan memiliki kitab
Al-Musnad. Pada masanya, kekhalifahan umat Islam dipegang oleh Al-Mu’tazilah
Billah yang berpaham (berpihak kepada) Muktazilah. Paham Mu’tazilah
dijadikannya sebagai mazhab negara, bahkan ajarannya dijadikan alat untuk
melakukan mihnah.
a. Gunu dan Murid
Ahmad ibn Hanbal
Menurut Abu
Zahra, ia berguru kepada Abu Yusuf (pengikut mazhab Hanafi) dalam bidang fikih.
Ia juga memiliki banyak pengikut dan murid diantaranya :
- Shalih ibn Ahmad
ibn Hanbal, anak Ahmad ibn Hanbal (wafat 266 H).
- ‘Abd Allah ibn
Ahmad ibn Hanbal, anak Ahmad Ibn Hanbal ( wafat 290 H),
- Ahmad ibn
Muhammad ibn Hani Abu Bakr Al-Atsrami, seorang teman Ahmad ibn Hanbal (wafat
261 H),
- ‘Abd Al-Malik ibn
‘Abd Al Hamid ibn Mahran Al-Maimanui, salah seorang sahabat Ahmad ibn Hanbal
(wafat 271 H),
- Ahmad ibn
Muhammad ibn Al-Hajjaj yang populer dengan sebutan Abu Bakar Al-Mawardzi (wafat
275 H).
b. Cara ijtihad
Ahmad ibn Hanbal
Pendapat-pendapat
Ahmad dibangun atas lima dasar, yaitu:
- Nash Al-Qur’an
dan Al-Sunnah
- Apabila tidak
didapatkan didalam nash itu, ia menukil fatwa sahabat, memilih pendapat,
memilih pendapat sahabat yang disepakati sahabat lainnya,
- Apabila fatwa
berbeda-beda, ia memilih salah satu pendapat yang lebih dekat kepada dua nash
tadi,
- Menggunakan
hadits mursal dan dla’if apabila tidak ada atsar, qaul sahabat, qaul sahabat,
atau ‘ijma’ yang menyalahinya,
- Apabila hadits
mursal dan hadits dla’if tidak didapatkan, ia menggunakan qiyas, jika memeang
terpaksa. Selanjutnya, langkah terakhir menggunakan sadz Al-Dzara’i.
4. Aliran Al-Zhahiri
Aliran ini
didirikan oleh Daud ibn ‘Ali Al-Asbahani (220-270 H) yang nama lengkapnya
adalah Abu Sulasiman Daud Ali ibn ‘Ali ibn Khalaf Al-Asbahani Al-Baghdadi.
Selanjutnya aliran ini dikembangkan oleh ibn Hazm (384-456 H). Ia digelari
Al-Zhahiri yang juga menjadi nama aliran tersebut, karena pendapatnya tentang
cara memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan menggunakan makna zhahir Al-Qur’an
dan Al-Sunnah.
Ia pertama kali
belajar fikih Al-Syafi’i kepada gurunya di Baqdad, kemudian melakukan
perjalanan ke Naisabur untuk belajar hadits. Adapun yang menjadi alasan ia
keluar dari aliran Syafi’i, karena nash bagi Syaf’i dapat dipahami secara
tersurat ataupun tersirat, sedangkan ia menolak pendapat ini. Menurutnya,
Syariah hanya terkandung dalam nash; tidak ada wilayah ra’yu dalam syariah.
a. Guru dan murid
Al-Zhahiri
Sebagai pendiri
sebuah aliran fikih, ia banyak diikuti muridnya seperti Muhammad (anak
Al-Zhahiri), Zakaria ibn Yahya Al-Saji, Yusuf ibn Ya’qub ibn Mahran Al-Daudi
dan Al-‘Abbas ibn Ahmad Al-Muidzakkir.
b. Cara Ijtihad
Al-Zhahiri
Al-Zhahiri
menentang qiyas dan mengajukan dalil dalam memahami nash. Ia mempertegas
ijtihadnya dengan mengatakan bahwa sumber hukum pokok hanyalah Al-Qur’an,
Al-Sunnah, dan ijma’. Tujuan utamanya syariah adalah ta’abudi bukan ta’aquli.
c. Fikh Daud
Al-Zhahiri
Menurut
Al-Zhahiri, Al-Qur’an yang ditulis dalam kertas dan beredar itu bersifat
makhluk (baru); sedangkan Al-Qur’an yang tertulis di Lauh Mahfudz bukan
Mahkluk.
d. Buku-buku
Al-Zhahiri
Sebagai imam
mahzab Al-Zhahiri banyak menulis buku, di antaranya Ibthal Al-Qiyas, Khabar
Al-Wahid, Al-Akhbar Al-Mujib fi Al-‘ilm, Al-Khushush wa Al-‘Umum, Al-Mufassar
wa Al-Mujmal dan Ibthal Al-Taqlid.
C. Pelestarian
Mazhab dan Akh Masa Keemasan
Mahzab Hanafi,
misalnya, berkembang ketika Abu Yusuf, murid Abu Hanifah, diangkat menjadi
qadhi di pemerintah tiga khalifah Abbasiyah, yaitu Al-Mahdi, Al-Hadi, dan Harun
Al-Rasyid. Al-Kharaj merupakan kitab yang ditulis atas permintaan khalifah
Al-Rasyid.
Sulaiman
Al-‘Asyqar mengatakan bahwa Dinasti Abbasiyah berjasa dalam melestarikan mazhab
Hanafi dengan mengangkat Abu Yusuf sebagai Qadhi Al-Qudhat (hakim agung);
Dinasti Fatimah berjasa dalam melesatarikan mazhab Isma’i’iyyah ; Dinasti
Umayyah di Andalusia berjasa dalam melesatrikan mazhab Maliki; Dinasti Ayubiyah
di Mesir berjasa dalam melesatrikan mazhab Al9Syafi’i; dan Dinasti Su’udiyyah
di Saudi Arabia berjasa dalam melesatarikan mazhab Hanbali.
BAB VI
TASYRI ISLAM PADA
MASA TAKLID DAN KEMUNDURAN
(310 H – AKHIR
ABAD KE-13)
Sejak akhir
pemerintahan Abbasiah, tampaknya kemunduran berijtihad sehingga sikap taklid
berangsur-angsur tumbuh merata di kalangan umat Islam. Yang di maksud dengan
masa taklid adalah masa ketika semangat (himmah) para ulama untuk melakukan
ijtihad mutlak mulai melemah dan mereka kembali kepada dasar tasyri’ yang asasi
dalam peng-istinbath-an hukum dari nash Al-Qur’an dan Al-Sunnah.
A. SEBAB-SEBAB
TAKLID
Secara umum,
sikap taklid disebabkan oleh keterbelangguan akal pikiran sebagai akibat
hilangnya kebebasan berfikir.
Sikap taklid disebabkan pula oleh
adanya para ulama saat itu yang kehilangan kepercayaan diri untuk berijtihad
secara mandiri. Mereka menganggap para pendiri mazhab lebih cerdas ketimbang
dirinya.
Sikap taklid juga disebabkan oleh
banyaknya kitab fikih dan berkembangnya sikap berlebihan dalam melakukan
kitab-kitab fikih. Hilangnya kecerdasan individu dan merajalelanya hidup
materialistik turut mempertajam munculnya sikap taklid.
B. PINTU IJTIHAD
TERTUTUP
Adanya
ketidakaturan suatu undang-undang fatwa yang harus diikuti para mufti,
mendorong semua orang mengeluarkan fatwanya. Karena itulah, para ulama
memploklamirkan bahwa pintu ijtihad tertutup. Mereka mengharuskan para qadhi
untuk bermazhab kepada salah satu mazhab yang ada. Walaupun tidak ada data
identik ‘Ali Al-Sayis, beranggapan bahwa ulama yang menyatakan ijtihad tertutup
muncul pada abad IV H; didukung oleh fakta sejarah yang menunjukkan bahwa ibn
Jarij Al-Thabari (wafat 310 H) merupakan ulama mujtahid mustaqil terakhir.
Setelahnya, ulama mengikatkan diri pada aliran fikih tertentu.
Setelah
diidentifikasi, ternyata di antara alasan ijtihat dinyatakan tetutup adalah
menjamurnya hubb al-dunya di kalangan ulama, terutama di kalangan birokrat Abbasiyyah.
Perpecahan politikpun turut memperkeruh suasana.
Umat Islam ketika
itu terpecah menjadi beberapa kerajaan; Basharah dikuasai oleh Dinasti Ra’iq,
Fez dikuasai oleh Dinasti ‘Ali ibn Buwaihi, Ray dikuasai oleh Abi ‘ali
Al-Husain ibn Al-Buwaihi. DIYAR Bakar dikuasai oleh Bani Hamdan, Mesir dan Syam
dikuasai oleh Dinasti Fatimah, dan Bahrain dikuasai oleh Dinasti Qaramithah,
Khalifah hanya berkuasa di Bagdad.
Sebab lain yang ikut mendukung
tumbuhnya kejumudan dengan menganggap bahwa pintu ijtihad tetutup adalah adanya
perpecahan aliran fikih.
Selain itu, ada
jawaban yang lebih mendasar menganggap ijtihad tertutup. Ijtihad ditutup karena
munculnya keterbelengguan pemikiran atau kegiatan pengembangan ilmu. Oleh
karena itu, tertutupnya ijtihad merupakan implikasi dari keadaan umum umat
Islam yang sedang berada pada fase kemunduran.
C. AKTIVITAS ULAMA
DI MASA TAKLID
Masa taklid
disebut juga masa para fuqaha mempropagandakan mazhab dan aliran mereka
masing-masing. Mereka menulis kitab-kitab yang menjelaskan keistimewaan imam
mereka masing-masing dan memberi fatwa pula bahwa orang yang bertaklid
(muqalli) tidak boleh pindah dari mazhab satu ke mazhab lainnya.
Pada masa ini kitab-kitab para ulama
mazhab dapat dikategorikan kepada tiga kelompok, yaitu matan, syarh, dan
hasyiyah. Matan adalah kumpulan masalah-masalah pokok yang disusun dengan
bahasa yang sederhana dan mudah. Syarh merupakan komentar dari kitab matan.
Adapun hasyiyah adalah komentar dari syarh.
D. ULAMA YANG HIDUP
DI MASA TAKLID
1. Ibn Hazm
Al-Zhahiri (384-456 H)
Ia lahir di
Kordova tahun 384 H. Ayahnya, Yazid, seorang menteri pada masa pemerintahan
Al-Manshur dan Al-Muja’lar. Ia mempelajari dan mengikuti fikih Hanafi, fikih
Maliki, fikih Syafi’i, dan fikih Hanbali.
a. Cara istinbath hukum
menurut Ibn Hazm
Beliau mengatakan
bahwa adillah (sumber hukum) adalah Al-Qur’an, hadits yang diriwayatkan oleh
rawi yang tsiqoh atau mutawatir, ijma’, dan Al-dalil.
Al-dalil yang
diambil dari nash sebagai berikut; pertama nash yang terdiri atas dua proposisi
(muqadimah), yaitu muqaddimah kubra dan muqaddimah sughra tanpa konklusi
(natijah).
Kedua, penerapan
segi keumuman makna.
Ketiga, makna
yang ditunjuk oleh suatu lafazh mengandung penolakan terhadap makna lain yang
tidak mungkin bersesuaian dengan makna yang dikandung oleh lafad tersebut.
Keempat, apabila
sesuatu tidak ada nash yang menentukan hukumnya, apakah wajib atau haram
dilakukan, maka hukumnya mubah.
Kelima, qadlaya
mudarajat (proposisi berjenjang), yaitu pemahaman bahwa derajat tertinggi
dipastikan berada di atas derajat yang lain yang berada di bawahnya.
Keenam, ‘Aks
Al-Qadhaya (pertentangan proposisi), yaitu pemahaman yang menyatakan bahwa
setiap proposisi kulliyat senantiasa memiliki pengertian yang berlawanan dengan
proposisi juz ‘iyyatnya.
Ketujuh, cakupan makna yang merupakan
keharusan yang menyertai makna yang dimaksud.
Al-Dalil dari
ijma’ ada empat macam; pertama, istishhab al-hal, yaitu kekalnya hukum ashl
yang telah tetap berdasarkan nash sehingga ada dalil tertentu yang menunjukkan
adanya perubahan.
Kedua, aqallu ma qila (target minimal
atau terendah dari suatu ukuran yang diperselisihkan).
Ketiga, ijma’
ulama untuk meninggalkan suatu pendapat. Keempat, ijma’ ulama tentang
universalitas hukum.
b. Pendapat ibn Hazm
Ibn Hazm
berpendapat tentang kulit bangkai yang disamak, termasuk kulit babi, anjing,
dan binatang buas, suci. Apabila kulit hewan tersebut apabila telah disamak,
kita dihalalkan untuk menjual kulitnya dan dibolehkan salat dengan memakai
benda tersebut. Yang dikecualikan oleh Ibn Hazm hanyalah manusia. Kulit
manusia, menurutnya, tidak halal disamak meskipun ia seorang kafir.
Selanjutnya, ia menjelaskan bahwa bulu, rambut, tulang, dan tanduk hewan adalah
haram sebelum disamak, dan halal apabila sudah disamak, tetapi tidak halal
dimakan.
2. ABU HAMID
AL-GHAZALI (450-505 H/Wafat 1111 M
Al-Ghazali
belajar fikih kepada Abi Hamid Ahmad ibn Muhammad Al-Thusi Al-Radzakani.
Kemudian ia melakukan perjalanan ke Jurjan dan berguru kepada Abi Al-Qasim
Isma’il ibn Mas’udah Al-Isma’ili (407-477 H). Ia lalu melanjutkan perjalanan
lagi ke Nizapur dan berguru kepada Imam Al-Haramain Al-Juwaini (419-487 H).
Kitab-kitab
hadits yang dipelajarinya adalah Shahih Al-Bukhari juga Shahih Muslim, Sunan
Abi Dawud, Maulid Al-Nabi Saw.
Langkah-langkah ijtihad menurut
Al-Ghazali
Langkah-langkah
yang dilakukan meliputi nushush Al-Kitab, hadits Mutawatir, hadits ahad..
apabila tidak didapatkan dalam tiga landasan di atas, ia menggunakan zhahir
Al-Kitab. Apabila tidak didapatkan dalam empat landasan di atas, ia menggunakan
ijma’ jika diketahui terdapat ijma’. Apabila dalam ijma’ pun tidak
didapatkannya, ia menggunkan analogi (qiyas).
3. Ibn Taimiah
(661-728 H/1260-1328 M)
Nama lengkapnya
Taqiy Al-Din Abu Al-‘Abbas Ahmad ‘Abd Al-Halim ibn Al-Imam Majd Al-Din Abi
Al-Barakah ‘Abd Al-Salam ibn Muhammad Al-Khudlri ibn ‘Abd Allah ibn Taiminah
Al-Harran. Beliau dilahirkan di Harran,, sebelah utara Mespotamia, sebelah
tenggara Turki Modera, pada tahun 661 H, bertepatan dengan tahun 1263 M, lima
tahun sesudah Bagdad jatuh ke tangan Hulaqu Khan. Ia dilahirkan dari keluarga
terhormat, zuhud, wara’, dan takwa. Ayahnya dikenal sebagai orang alim,
demikian juga kakeknya yang dikenal sebagai pengajar dan penghafal hadits,
mufasir, ahli ilmu ushul, dan ilmu nahu. Ibnu Taimiah belajar menghafal Al-Qur’an
dari ayahnya, mempelajari tafsir, ushul Al-Fiqh, mantik, filsafat, kalam,
aljabar, ilmu hitung, kimia, ilmu jiwa, dan ilmu falak.
Murid-muridnya
yang terkenal di antaranya Ibn Al-Qayyim, Al-Jauziyyah (wafat 751 H), yang
menulis I’lam Al-Muwaqqi’in, dan Muhammad Husein Al-Dzahabi (701-748), yang
menulis Al-Tafsir wa Al-Mufassirun.
BAB VII
MASA PEMBAHARUAN
TASYRI’ ISLAM
(AKHIR ABAD 13
H-SEKARANG )
A. Latar Belakang
Perlunya Pembaharuan
1. Perkembangan Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi
Pada pertengahan
abad ke-18 M, muncul upaya reformasi (pembaharu) untuk melepaskan diri dari
taklid di kalangan umat Islam. Usaha ini timbul setelah kaum Muslimin sadar
akan kelemahan dan kemunduran mereak akbiat perselisihan di kalangan umat Islam
sendiri.
Peradaban yang
dahulu berada di tangan kaum Muslimin, beralih ke Barat. Mereka telah menemukan
masa keemasannya (renaisance). Kemajuan modern di kalangan Barat, sekaligus
keberhasilan mereka dalam menguasai peradaban dunia ketika itu tidak terlepas
dari faktor utamanya.
Umat Islam merasa
tergugah kembali untuk meraih kesuksesan yang pernah di raihnya itu.
Kebangkitan umat Islam muncul di Turki dan Mesir yang memulai usaha-usaha dalam
bidang pendidikan. Di Mesir, pada awal abad ke-13 H, Muhammad Ali Pasya tampil
untuk memajukan ilmu pengetahuan, kemujian dilanjutkan oleh Al-Tahtawi, dengan
usaha penerjemahan buku-buku barat tentang berbagai macam pengetahuan modern,
dan penulisan buku-buku baru serta penerbitan berbagai surat kabar dan majalah
ilmu pengetahuan. Di antara karya Al-Tahtawi adalah Takhlis al Ibris ila
Takhlish Al-Bariz Al-Muesyid Al-Amin li Al-Ban,t wa Al-Banin; Al-Qaul Al-Syadid
fi Al-Ijtih, d wa Al-Taqlid.
Pada pertengahan
abad ke-13 H, di Mesir, didirikan berbagai sekolah, seperti sekolah tehnik,
militer, kedokteran, apoteker, pertambangan, pertanian, penerjemah.
2. Dinasti Hukum
Islam
B. Usaha-usaha dalam
Pembaharuan
1. Penafsiran
Kembali Sumber-sumber Tasyri’ (Al-Qur’an dan Al-Sunnah)
Dalam rangka
usaha-usaha pembaharuan Islam, para ulama berusaha menafsirkan kembali
sumber-sumber tasyri’. Sebagai upaya menghadapi tantangan zaman yang serba
modern, para mujadid berusaha menafsirkan Al-Qur’an dengan disesuaikan
perkembangan zaman, juga menghindarkan diri dari dongeng-dongeng yang bersifat
Israiliyat dan Nasraniyat.
Dalam penafsiran
ini Muhammad Abduh senantiasa berusaha mencari perselisihan antara Al-Qur’an
dan teori-teori ilmu pengetahuan modern. Adapun tafsir yang menitikberatkan
kepada ayat-ayat tasyri’ ialah tafsir Al-Qurtubi, Abu Bakar Al-Arabi, Abu Bakar
Al-Jahash, dan Tafsir Shidiq Hasan Khan yang dikenal dengan tafsir ulama
yasyri’.
2. Memadukan
Pendapat yang Bertentangan
Para mujtahid
tidak terikat pada salah satu mazhab. Mereka mengambil pendapat dari berbagai
ulama ahli hukum yang lebih sesuai dengan kemaslahatan umat dan masyarakat di
alam modern. Sikap seperti ini dikenal dengan istilah “talfik”, yakni
mengamalkan suatu hukum furu’ yang zhanniy menurut ketentuan dua mazhab atau
lebih.
3. Pemurnian Tasyri’
Islam dari Bid’ah dan Khurafat
Bid’ah dapat
diartikan menjalani syariat yang tidak sesuai dengan ajaran Allah dan Sunnah
Rasulullah, baik dengan cara mengurangi maupun menambah ketentuan yang telah
ditetapkan oleh nash. Khurafat diartikan sebagai keyakinan atau itikad yang
menyalahi kehendak Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah.
Tokoh terkenal yang menetang bid’ah
dan khurafat adalah Abd Al-Wahhab di Saudi Arabia dan Syekh Waliyllah
Al-Dahlawi di India.
Salah satu
upaya untuk membangkitkan kembali tasyri’ Islam adalah menghidupkan kembali
Ijtihad. Ijtihad, sebagaimana dikemukakan oleh Umar Syihab, dapat dikelompokkan
kepada tiga macam:
- Ijtihad i’tiqaiy
(tarjih)
- Ijtihad insyaiy
- Ijtihad perbandingan
Ijtihad tarjih
adalah memilih salah satu pendapat yang terkuat dari pendapat yang ada dalam
karya-karya para mujtahid. Ijtihad insyaiy adalah mengambil kesimpulan hukum
baru terhadap suatu masalah yang belum pernah dikeukakan ulama terdahulu.
Ijtihad perbandingan adalah mengambil kesimpulan hukum dari sua ijtihad tadi
untuk diketahui kesesuaian dengan masalah yang berlaku.
Ijtihad insyaiy
tampaknya lebih relevan dengan apa yang dimaksud dalam pembaharuan hukum,
karena pembaharuan hukum tersebut tidak lagi terikat pada mazhab-mazhab lama.
DAFTAR PUSTAKA
Supiana, Karman.
1999. Materi Pendidikan Agama Islam pengantar Prof. DR. Ahmad Tafsir. Bandung
: PT. Remaja Roddakarya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar