Pendahuluan
Anak
Hasil Inseminasi (Bayi Tabung) dalam Perspektif Hukum Islam.
Sebagaimana diketahui bahwa anak
bagi
orang
tua ketika
ia masih hidup dapat dijadikan sebagai
penenang, dan sewaktu ia pulang ke rahmatullah anak sebagai pelanjut
dan lambang keabadian. Oleh
karena itu, bagi yang tidak memiliki anak berupaya untuk mendapatkan
anak, bahkan sebagaimana disebutkan dalam makalah sebelumnya ada
pula yang melakukan
adopsi untuk mendapatkan anak dengan syarat-syarat yang telah
ditentukan berdasarkan pandangan hukum Islam.
Anak
mewarisi tanda-tanda kesamaan orang tua, termasuk juga ciri-ciri
khas, baik maupun buruk, tinggi maupun rendah. Dia adalah belahan
jantungnya dan potongan dari hatinya. Dengan mempertimbangkan
kedudukan anak ini, maka pada makalah sebelumnya juga dinyatakan
bahwa Allah mengharamkan
berzina yang sebenarnya apabila dari perbuatan ini dihasilkan
seorang anak, maka kemudaratan pun akan terjadi pada anak ini, walau
ia sendiri tidak menginginkan hal demikian.
Dengan
semakin berkembang dan majunya ilmu pengetahuan dan teknologi
informasi, teknologi modern menemukan bahwa untuk mendapatkan anak
tidak perlu melalui adopsi anak yang sebenarnya tidak memiliki
hubungan nasab dengan orang yang mengadopsinya, tetapi dengan
mengikuti program inseminasi, seseorang dapat memiliki anak, bahkan
dilahirkan dari kandungan perempuan itu sendiri. Permasalahan
inilah yang kemudian dikaji dalam makalah ini.
Pembahasan
Pengertian
Inseminasi
Kata
inseminasi berasal dari bahasa Inggris “insemination”
yang artinya pembuahan atau penghamilan secara teknologi, bukan
secara alamiah. Kata inseminasi itu sendiri, dimaksudkan oleh dokter
Arab, dengan istilah التَّلْفِيْحُ
dari
fi’il (kata kerja) لَقَّحَ-يُلَقِّحُ
menjadi
تَلْقِيْحًا
yang
berarti mengawinkan atau mempertemukan (memadukan).
Kata
talqih yang sama pengertiannya dengan inseminasi, diambil oleh
dokter ahli kandungan bangsa Arab, dalam upaya pembuahan terhadap
wanita yang menginginkan kehamilan.[1]
Sedangkan
pengertian bayi tabung disebutnya sebagai istilah: طِفْلُ
اْلأَنَابِيْتِ yang
artinya jabang bayi; yaitu sel telur yang telah dibuahi oleh sperma
yang telah dibiakkan dalam tempat pembiakan (cawan) yang sudah siap
untuk diletakkan ke dalam rahim seorang ibu.
Teknik
Pembuatannya
Untuk
melakukan sinseminasi buatan (al-taqih al-Shina’iyah); yaitu
sepasang suami-istri yang menginginkan kehamilan, diharapkan selalu
berkonsultasi dengan dokter ahli dengan memeriksakan dirinya, apakah
keduanya bisa membuahi atau dibuahi, untuk mendapatkan keturunan
atau tidak.[2]
Ada
beberapa teknik inseminasi buatan yang telah dikembangkan di dunia
kedokteran, antara lain ialah :[3]
a.
Fertilization
in Vitro (FIV) dengan cara mengambil sperma suami dan ovum istri
kemudian diproses di Vitro (tabung), dan setelah terjadi pembuahan,
lalu lalu ditransper dirahim
isteri.
b.
Gamet
Intra Felopian Tuba (GIFT) dengan cara mengambil sperma suami dan
ovum isteri,
dan setelah dicampur terjadi pembuahan, maka segera ditahan di
saluran telur (tuba palupi). Teknik
kedua ini lebih alamiah dari pada teknik pertama, sebab sperma hanya
bisa membuahi ovum di tuba palupi setelah terjadi ejakulasi
(pancaran mani) melalui hubungan seksual.
Sejak bayi tabung
itu dimasukkan ke dalam rahim seorang ibu, sejak itu pula berlaku
larangan dokter yang harus dipatuhi oleh ibu, antara lain:
a.
kerja
keras, atau terlalu capek
b.
Tidak
makan atau minum sesuatu yang mengandung unsur alkohol
c.
Tidak
boleh melakukan senggama selama 15 hari atau 3 minggu sejak bayi
tabung
itu diletakkan ke dalam rahim.
Hukum
Melakukan
Inseminasi
Upaya
inseminasi buatan dan bayi tabung, dibolehkan dalam Islam jika
perpaduan
sperma dengan ovum itu bersumber dari suami-istri yang sah
(Inseminasi Homolog). Dan yang dilarang adalah inseminasi buatan dan
bayi tabung yang berasal dari perpaduan sperma dan ovum dari orang
lain (Inseminasi Heterolog).[4]
Iseminasi yang
dilarang (Inseminasi
Heterolog) ini
selain menimbulkan kemudaratan bagi pasangan suami isteri tersebut
di mata agama juga menimbulkan pula kemudaratan bagi anak.
Setidaknya dalam pandangan hukum Islam anak yang dihasilkan dari
Inseminasi
Heterolog,
akan dikatakan sebagai anak hasil zina.
Berdasarkan
hal demikian, maka kemudaratan-kemudaratan itu perlu dihindari,
bahkan dihilangkan. Hal ini sesuai dengan kaidah
Fiqhiyah yang
mengatakan :
اَلضَّرُرَ
يُزَالُ
Artinya:
Kemudaratan itu
harus dihilangkan.
Selain itu, untuk
mencegah agar suami-istri tidak lagi mengalami kesulitan akibat
tidak hamil dengan cara senggama, maka perlu ditolong oleh dokter
ahli, dengan cara inseminasi buatan dan bayi tabung, yang diambil
dari zat sperma dengan ovum suami-istri yang sah. Dan sebaliknya,
bila bersumber dari orang lain, maka dikategorikan perbuatan zina,
dan dapat menyulitkan persoalan hukum sesudahnya.[5]
Dari
uraian-uraian di atas, dapat ditarik
sebuah pemikiran bahwa :
a.
Inseminasi
buatan dengan sel sperma danovum dari suami istri sendiri dan tidak
ditransfer embrionya ke dalam rahim wanita lain (ibu titipan)
diperbolehkan Islam, jika keadaan kondisi suami istri yang
bersangkutan benar-benar memerlukannya (ada hajat, jadi bukan untuk
kelinci percobaan atau main-main). Dan status anak hasil inseminasi
macam ini sah menurut Islam;
b.
Inseminasi
buatan dengan sperma dan/atau ovum donor diharamkan (dilarang keras)
Islam. Hukumnya sama dengan zina dan anak yang lahir dari hasil
inseminasi macam ini/bayi tabung ini statusnya
sama
dengan anak yang lahir di luar perkawinan yang sah;
c.
Pemerintah
hendaknya melarang berdirinya Bank Nuthfah/Sperma dan Bank Ovum
untuk pembuatan bayi tabung, karena selain bertentangan dengan
Pancasila dan UUD 1945, juga bertentangan
dengan
norma agama dan moral, serta merendahkan harkat manusia
sejajar dengan hewan yang diiseminasi tanpa perlu adanya perkawinan;
d.
Pemeritah
hendaknya hanya mengizinkan dan melayani permintaan bayi tabung
dengan sel sperma dan ovum suami istri yang bersangkutan tanpa
ditransfer ke dalam rahim wanita lain (ibu titipan), dan
pemerintah hendaknya juga melarang keras dengan sanksi-sanksi
hukumannya kepada dokter dan siapa saja yang melakukan inseminasi
buatan pada manusia dengan sperma dan/atau ovum donor.[6]
Kesimpulan
Inseminasi
adalah teknik
pembuahan (fertilisasi) antara sperma suami dan sel telur isteri
yang masing-masing diambil kemudian disatukan di luar kandungan (in
vitro) – sebagai lawan “di dalam kandungan” (in vivo).
Secara
hukum, bayi yang
dihasilkan dari inseminasi ini memiliki
dua macam yakni
diperbolehkan
dengan
catatan
sperma yang diambil merupakan sperma yang berasal dari suami istri
yang sah, dan ditanam dalam rahim istri tersebut (bukan rahim orang
lain) dan
tidak
diperbolehkan, jika seperma yang diambil berasal dari laki-laki lain
begitu pula dari wanita lain.
[2]
Ibid. h 2
[5]
Ibid. h 6
Tidak ada komentar:
Posting Komentar